Populer

Cari Blog Ini

Music Listening

Translate

Kamis, 28 Februari 2019

Makam Raja Banjar ke IV  DYMM Sultan Musta'In Billah Ditemukan di Bawah Pohon Kasturi Raksasa di Martapura

Pohon Kasturi


Batu Nisan Sultan Musta'in Billah



Makam Raja Banjar ke IV  DYMM Sultan Musta'In Billah Ditemukan di Bawah Pohon Kasturi Raksasa di Martapura

Sebuah makam yang diduga merupakan tempat persemayaman Raja Banjar ke IV, Sultan Mustainbillah, akhirnya ditemukan oleh para Dzuriyat Kesultanan Banjar.
Makam yang diyakini merupakan salah satu Raja Banjar itu berada di bawah sebuah pohon Kasturi berukuran raksasa berdiameter 150 cm diperkirakan berusia 200 tahun, di Desa Tangkas RT 3, Kecamatan Martapura Barat, Martapura, Kabupaten Banjar , Kalimantan Selatan

Di lokasi tersebut para Dzuriyyat yang telah lama melakukan pencarian Raja Banjar tersebut, menemukan sebuah Batu Nisan batu berukuran besar dengan ukiran batu bercabang dua yang menandai keberadaan makamnya.
Ketua Zuriyyat Pangeran Hidayatulah di
Kalsel, Gusti Sofyan Hilmi, mengatakan, di dalam buku-buku yang meriwayatkan sejarah Banjar, mencantumkan enam Sultan. Makam lima Sultan telah diketahui, tinggal Raja Banjar keempat tersebut yang belum.
"Hanya Sultan Mustainbillah yang tidak diketahui makamnya. Kalau wafatnya pada tahun 1619," sebut dia, Jumat (1/1/2016)
Dari penelusuran, didapat petunjuk tentang makam sultan tersebut di kawasan Sungai Tabukan. “Ketika dicari, tidak ditemukan. Ketika dicari di kawasan Sungai Tabukan Martapura, lalu bertanya kepada warga, ditunjukkanlah makam dimaksud tersebut,” ujarnya.
Dulunya, di lokasi makam ada kubah juga, tetapi hancur dimakan usia karena hujan, panas serta faktor lain. Makam tersebut dirawat Gusti Dayat. Namun, sepeninggal Gusti Dayat, tidak ada lagi yang merawat.
“Warga sekitar, tahunya memang makam raja. Makanya, banyak yang menaruh kembang dan kain kuning di makam beliau," imbuh Gusti Sofyan.
Pohon Kasturi Raksasa di atas Makam
Raja Banjar ditebang, untuk memudahkan perawatan makam.
Dengan temuan tersebut, lanjutnya, para Zuriyyat serta komunitas peduli makam raja-raja Banjar memutuskan untuk merawat kembali makam ini. Setelah pohon kasturi ditebang, rencana berikut adalah membangun kubah berarsitektur rumah banjar berukuran 4 x 4 meter
Disinggung mengenai makam yang sebelumnya ditemukan di Desa Sungai Kitano dan disebut makam Sultan Mustainbillah, Gusti Sofwan membenarkan. Namun ia juga mengungkapkan makam itu adalah Makam Sultan Inayatullah, yakni anak dari Sultan Mustainbillah.
"Bisa dilihat dari nisannya. Di Sungai Kitano, lebih kecil ukurannya dari makam yang baru ditemukan. Makam yang baru ditemukan, paling besar nisannya. Cuma, ada kemiripan bentuk nisan antara kedua makam," bebernya.
Hal senada diutarakan Ketua Peduli Makam Al Khairat, Uhibbul Hudda. Berdasarkan bentuk nisan makam tersebut, menandakan makam raja-raja dulu. Bentuk nisannya, lebih besar dari nisan Sultan Inayatullah.
"Itu bukan batu hasil olahan daerah kita. Bisa jadi, batu nisan ini dari Persia atau bisa juga Majapahit," lontarnya.

Keterangan gambar : Nisan dari Makam Raja Banjar IV Sultan Mustainbillah yang ditemukan di Kecamatan Martapura Barat Jumat (1/1/2015) diamankan di rumah warga.

#FolksOfBanjar #KesultananBanjar #KesultananKutaringin #SultanMustainBillah

SHEIKH ALI BIN ABDULLAH AL-BANJARY


SHEIKH ALI BIN ABDULLAH AL-BANJARY
JURU TULIS KITAB I'ANAH ATH-THALIBIN

Di kalangan santri di Indonesia dan Santri Alam Melayu kitab I’anah Ath-Thalibin sangat dikenal. Namun siapa sangka, penulisnya (juru tulis Syekh Bakri Satha) ternyata seorang syekh keturunan Banjar , Kalimantan Selatan
Syekh keturunan Banjar itu bernama Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau dilahirkan di Makkah Al Mukarramah tahun 1285 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1868 Miladiyah (Masihi), dan tumbuh di dalam keluarga shaleh dan shalehah.
Ayahnya, Syekh Abdullah bin Mahmud Al Banjari merupakan ulama karismatik di Makkah Al Mukarramah. Beliau dijuluki dengan julukan Syekh Abdullah Wujud dikarenakan apabila beliau berdzikir, tubuhnya tidak lagi nampak terlihat, melainkan hanya pakaian dan sorbannya saja.
Di dalam keluarganya yang shaleh dan menjunjung tinggi ilmu agama itulah Syekh Ali tumbuh besar, hingga beliau mewarisi kecintaan pada ilmu agama sebagaimana ayah, kakek, dan datuknya yang lebih dulu menjadi ulama besar di zaman mereka.
Syekh Ali tak mau menjadi pemutus “nasab emas” keilmuan para leluhurnya, beliau pun dengan gigihnya menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syekh Said Yamani, Syekh Yusuf Al Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki, Habib Ahmad bin Hasan Al Atthas, Habib Umar bin Salim Al Atthas, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Ahmad Fathani, Syekh Zainuddin As Sumbawi dan lainnya.
Dalam ilmu nahwu, sharaf, dan Fiqih Syekh Ali belajar kepada Syekh Abu Bakar Satha, Syekh Said Yamani, dan Syekh Mahfuz Termas (Ulama dari tanah Jawi). Dalam bidang hadits beliau berguru kepada Syekh Said Yamani, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki. Adapun dalam ilmu falaq, Syekh Ali belajar kepada Syekh Yusuf Al Khaiyat. Tafsir, kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Dan, mengambil ijazah Thariqah Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi.
Menjadi Juru Tulis Gurunya
Guru dari Syekh Ali, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang hidup pada akhir abad ke-13 H dan permulaan abad ke-14 H. Kala itu, Sayyid Abu Bakar as Satha mengajar kitab syarah Fath al Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari, di Masjidil Haram.
Selama mengajar Kitab Fathul Mu’in, Sayyid Abu Bakar Satha menulis catatan sebagai penjelasan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab fathul Mu’in.
Catatan-catatan inilah yang kemudian diminta untuk dikumpulkan oleh para sahabat beliau, guna dijadikan sebuah kitab (hasyiyah) untuk memahami Kitab Fathul Mu’in.
Saat itu, Syekh Ali menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Ath-Thalibin, syarah (penjelasan ) dari Kitab Fathul Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari.
“Kitab asli tulisan tangan beliau itu ada di Sumatra,” kata Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Al Banjari.
Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Kitab I’anah Ath-Thalibin ini selesai ditulis pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H.
Kitab I’anah Ath-Thalibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif.
Rujukan penyusunan kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumy dan lainnya.
Mursyid Thariqah Sammaniyah
Dalam bidang tasawuf, Syekh Ali Al Banjari diketahui pernah mengambil ijazah Thariqah Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi, hingga menjadi mursyid dalam thariqah tersebut. Hal ini diketahui dengan adanya catatan silsilah masyaikh (keguruan) pada Thariqah Sammaniyah yang terdapat nama beliau di dalamnya.
Thariqah Sammaniyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Di antara murid Syekh Muhammad Samman adalah Datuk Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliaulah yang membawa thariqah ini ke tanah Banjar, dan meng-ijazahkannya kepada keluarga dan pengikut beliau. Dari keluarga dan pengikut beliau inilah kemudian thariqah tersebut terjaga hingga sekarang.
Mursyid Thariqah Sammaniyah yang masyhur dari keturunan Datuk Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Tuan Guru Sekumpul). Di antara mata rantai sanad keguruan Tuan Syekh Muhammad Zaini dalam bidang Thariqah Sammaniyah ini, terdapat nama Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari. Berikut perinciannya sanad keguruan dari Syekh Samman hingga Syekh Muhammad Zaini:
Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani,
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari,
Syekh Syihabuddin Al Banjari
Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani
Syekh Zainuddin bin Badawi As Sumbawi, Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari
Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al Banjari
Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari.
Mengajar di Masjidil Haram
Setelah dinilai guru-gurunya mumpuni dalam bidang keilmuan, Syekh Ali pun diizinkan mengajar di Masjidil Haram dalam mata pelajaran Nahwu, Sharaf, dan Fiqih Mazhab Syafi’ie.
Sejak saat itu pula, rumahnya di Daerah Syamiyah, Jabal Hindi, menjadi tempat tujuan para penimba ilmu. Terlebih, ketika umat Islam Seluruh dunia berdatangan untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ibadah haji ini biasanya dimanfaatkan para muslimin untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di tanah haram, tak terkecuali dengan Syekh Ali.
Dari sekian banyak murid Syekh Ali Al Banjari yang datang dari tanah Banjar dan kemudian menjadi ulama besar, di antaranya: Tuan Guru Zainal Ilmi (Dalam Pagar,Martapura), Syekh Sya’rani bin Haji Arif (Kampung Melayu), Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al-Banjary (Bangil, Surabaya), Syekh Seman bin Haji Mulya (Keraton,Martapura), Syekh Hasyim Mukhtar, Syekh Nasrun Thahir, Syekh Nawawi Marfu’, Syekh Abdul Karim bin Muhammad Amin Al Banjari (wafat di Makkah).
Berhenti Mengajar di Masjidil Haram
Setelah sekian lama tanah haram hidup tenang, dan Syekh Ali tenang menjalani rutinitasnya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Saudi Arabia dilanda perpecahan. Perang antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz.
Peperangan tersebut tidak hanya berkisar perebutan daerah, tapi juga keyakinan dalam beragama. Kubu Muhammad Su’ud yang membawa keyakinan Wahabi kemudian membuat “onar” di tanah haram. Para ulama Ahlussunnah di zaman itu dipanggil, tak terkecuali dengan Syekh Ali.
Sempat terjadi perdebatan sengit antara Syekh Ali dengan ulama wahabi tentang firman Allah Ta’la, “Yadullah fauqa aidihim”(Al Fath ayat 10). Ulama Wahabi berpandangan lafaz “Yad” disana adalah tangan, dan Syekh Ali dengan tegas tidak menerima pandangan Mujassimah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk, red) tersebut. Beliau cenderung dengan pandapat tafsir tentang ayat tersebut yang menyatakan: Bermula kekuasaan itu atas segala kekuasaan mereka itu. Lafadz “Yad” dimaknai Qudrat. Dalam debat itu, beliau menang telak atas ulama Wahabi. Sehingga, Syekh Ali yang tadinya akan dipancung, urung dilaksanakan.
Dalam masa peperangan itu-lah, Syekh Ali Al Banjari menitipkan anaknya Husin Ali kepada Tuan Syekh Kasyful Anwar Al Banjari untuk dibawa ke tanah Banjar. Syekh Kasyful Anwar adalah sahabat Syekh Ali ketika mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha, yang juga keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Sejak perpecahan itu-lah Syekh Ali Al Banjari tak lagi mengajar di Masjidil Haram. Namun, beliau masih menerima orang-orang yang datang menemuinya. Baik yang menimba ilmu atau yang hanya meminta doa. Karena nama Syekh Ali tidak hanya besar disebabkan kedalaman ilmunya, tapi juga kemustajaban doanya. Sehingga, banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk didoakan beliau.
Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari wafat di Makkah Al Mukarramah, Khamis malam (Malam Jumaat) 12 Dzulhijjah 1307 Hijriyah dimakamkan di Mu’alla, Mekkah.
Silakan share , tapi sertakan nama penulisnya. Sebab, suatu saat mungkin ada yang menjadikan referensi penelitian. Tulisan ini bersumber dari wawancara penulis dengan Ustadz Muhammad Husein Ali bin KH Husin Ali bin Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari (Cucu Syekh Ali di Martapura).
Jika ada salah dan khilaf, baik di sengaja maupun yang tidak disengaja, penulis menghaturkan ampun dan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Allah membukakan pintu tobat, ampunan, taufiq, hidayah, istiqomah, dan husnul khotiman pada kita sekalian baik bagi penulis maupun pembaca berkat Rasulullah SAW, Syaikhuna Sekumpul, berkat Syekh Ali Al Banjari, dan berkat orang-orang shaleh dulu-sekarang hingga akhir zaman, amin ya Rabbal ‘alamin
SOURCE & WRITER :
Penulis: Muhammad Bulkini Ibnu Syaifuddin
# FolksOfBanjar # # I ’anahAth-Thalibin
# SheikhAli

Rabu, 27 Februari 2019

MAGELI MAKANAN KHAS MARTAPURA




MAGELI  KHAS MARTAPURA

Ada yang tahu jenis kue atau penganan ini? Ya, Mageli, jika mendengar nama makanan khas Banjar ini khususnya Kota Martapura ini tidak semua orang kenal. Namun, jika pernah merasakannya tentu penasaran untuk memakannya lagi.
Kue ini biasanya teman makan ketupat atau sekadar camilan aja. Meski sudah termasuk langka dan jarang ditemukan di Banjarmasin, Mageli ini banyak ditemukan di daerah Martapura, Kebupatian Banjar, Kalimantan Selatan.

Dari berbagai sumber yang didapat
untuk menikmati kuliner ini kurang lengkap kalau tidak menggunakan saus atau sambal. Makanan konon disebut makanan berasal dari jazirah arab.
Bila diperhatikan bentuknya seperti kue atau wadai yang bahan dasarnya dari tepung dan digoreng.
Namun jangan salah, makan satu ini ternyata berbahan dasar dari kacang, Kacang Hijau atau Kacang nagara atau kacang putih (kacang tunggak) merupakan komoditas kacang-kacangan lahan lebak. Bentuknya ada yang dibikin lonjong atau bulatan kecil berwarna kuning dengan teksture agak lembut. Namun, entah bagaimana ceritanya sampai penganan itu dinamakan Mageli.
Cara buat nya susah susah gampang Bahan dasar nya pun bisa pake kacang china (putih) ataupun kacang hijau , Berikut resepnya jika bunda ingin mencoba membuatnya.

Bahan-bahan:
1. 200 gr kacang hijau /kacang putih
2. 2 butir telur
3. 1/2 sdt ketumbar bubuk
4. 100-150 mlair
5. secukupnya gula garam
6. secukupnya kaldu bubuk  ( Royco/ sasa)
7. 5 sdm tepung terigu
8. 1/4 sdt baking powder (optional)
9. Bumbu halus :
10. 4 siung bawang putih
11. 7 siung bawang merah
12. 2 butir kemiri
13. 1 cm kencur (optional)

Langkah:
Haluskan kacang bisa pakai food processor atau blender biasa jangan terlalu halus biarkan begerindil.
Di sini pakai blender biasa jadi ngeblend nya sedikit demi sedikit aja kalau agak susah masukkin air sedikit sama telurnya juga.
Setelah diblender semua campurkan adonan dengan bumbu halus tepung garam gula kaldu dan baking powder aduk rata.
Goreng diminyak panas
Tekstur bulat-bulat tergantung saat menyendokkan ke dalam minyak saat menggorengnya.

#FolksOfBanjar #KulinerKhasBanjar #KulinerKhasMartapura #Mageli #BanjareseCulinary #MartapuraCulinary
#TasteMageli #AsianSnackFood

PERKAWINAN ADAT MELAYU BANJAR



Sekilas Proses Perkawinan Adat Banjar
Berikut akan saya ceritakan sekilas dulu mengenai proses-proses yang mengiringi acara perkawinan dalam adat Banjar. Di tulisan yang lain akan dibahas lebih detail.
Perkawinan adat Banjar dipengaruhi oleh unsur dalam agama Islam, dalam perkawinan Banjar nampak jelas begitu besar penghormatan terhadap posisi wanita. Hal itu merupakan penerapan dari ajaran Islam yang mengemukakan ungkapan “surga itu dibawah telapak kaki ibu” dan kalimat “wanita itu adalah tiang negara”. Acara demi acara yang dilaksanakan semuanya berpusat di tempat atau di rumah pihak calon mempelai wanita, pihak dari keluarga laki-laki yang datang menghormati kepada keluarga mempelai wanita.
Urutan proses yang umum terjadi di kalangan keluarga calon pengantin adalah:
1. Basusuluh (mencari informasi secara diam-diam mengenai riwayat keluarga calon mempelai. Mencari informasi ini bisa melalui berbagai macam cara dan dilakukan secara cerdik)
2. Batatakun (mencari informasi definitif, pencarian ini lebih terbuka melalui kedua pihak keluarga)
3. Badatang (meminang)
4. Maatar Patalian ( memberikan barang-barang antaran kepada pihak mempelai wanita, berupa barang kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan kamar tidur)
5. Nikah (ikatan resmi menurut agama)
6. Batatai (proses akhir dari perkawinan Banjar, upacara bersanding/pesta perkawinan)
Ditambah berbagai proses lainnya yang semuanya dilakukan di kediaman mempelai wanita. Karena perkawinan merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup, maka keluarga kedua mempelai berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kesan dan keistimewaan serta fasilitas kepada kedua mempelai, mereka dilayani bagai seorang raja dan ratu sehingga sering diberi julukan Raja Sahari (raja satu hari)
Proses-proses yang dilakukan sebelum batatai pengantin, yaitu:
1. Manurunakan Pangantin Laki-Laki, Upacara akan dimulai saat pengantin laki-laki mulai turun dari rumahnya menuju pelaminan di rumah mempelai wanita. Proses ini memang terlihat mudah, tetapi sering pada acara inilah terjadi hal-hal yang berakibat fatal bahkan mengakibatkan batalnya seluruh acara perkawinan. Di masa lalu, tidak jarang laki-laki saingan yang gagal memperoleh hati wanita yang akan segera menikah melakukan segala cara untuk menggagalkan pernikahan yang akan segera berlangsung. Mereka berusaha menggagalkan dengan cara halus (gaib) terutama saat ijab kabul tiba. Mempelai laki-laki akan muntah-muntah dan sakit, ada juga yang tidak dapat menggerakkan kakinya untuk melangkah padahal rumah wanitanya sudah didepan mata. Untuk mengantipasi hal ini biasanya para tetuha keluarga memberikan sangu dengan doa-doa khusus. Selain itu saat kaki calon pengantin laki-laki melangkah pertama kali akan didendangkan shalawat nabi dan ditaburi baras kuning.
2. Maarak Pengantin Laki-laki, saat tidak ada lagi gangguan terjadi rombongan pengantar akan bergerak menuju rumah mempelai wanita (dahulu jarak antar rumah calon relatif dekat sehingga warga berjalan kaki beramai-ramai). Kira-kira beberapa puluh meter di depan rumah mempelai, saat inilah berbagai macam kesenian akan ditampilkan. Diantaranya, Sinoman Hadrah, Kuda Gipang, bahkan ada musik Bamban (sejenis Tanjidor Betawi). Mempelai laki-laki yang melewati barisan Sinoman Hadrah akan dilindungi oleh Payung Ubur-Ubur, payung ini akan terus berputar-putar melindungi pengantin sambil rombongan bergerak menuju rumah mempelai wanita.
3. Batatai Pengantin, proses terakhir dalam pesta. Kedua mempelai bertemu dan dipertontonkan di atas mahligai pelaminan disaksikan seluruh undangan yang hadir.
Selain rangkaian proses di atas masih ada beberapa proses perkawinan adat Banjar yang dilakukan oleh keluarga kedua mempelai sebagai penunjang suksesnya hari batatai pengantin.

Source : Kerajaan Banjar Virtual

PENGARUH MUSIK MELAYU DALAM TABUHAN GAMALAN BANJAR ( Gamelan Banjar)

Kebudayaan Melayu yang ada di Kalimantan Selatan telah masuk dan memengaruhi kesenian-kesenian Banjar, salah satunya pada Gamalan Banjar. Pengaruh Melayu dalam Gamalan Banjar nampak pada teknik tabuh, vokal, dan pantun. Teknik tabuh saluk dan culit serta vokal kilung pada Gamalan Banjar memiliki cengkok yang sama pada Musik Melayu, yang oleh orang Melayu Riau disebut grenek. Sedangkan teks pantun sudah tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu ciri dari budaya Melayu yang sangat kuat. Pendekatan Musik Melayu Riau digunakan karena belum adanya literasi tentang musik Melayu Banjar. Temuan-temuan tentang pengaruh Musik Melayu pada tabuhan Gamalan Banjar masih berupa pengantar yang mengharuskan adanya penelitian lanjutan yang lebih spesifik dan mendalam.

Referensi :

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Depok: Raja Grafindo Persada.
Rass, JJ. 1968. Hikayat Banjar (A study in Malay historiography). Manuskrip. Banjarmasin: Museum Lambung Mangkurat.
Rizaldi. 2010. “Cengkok dan Grenek dalam Biola Melayu”.

Daring: http://rizaldiisipadangpanjang.blogspot.co.id/2010/08/cengkok-dan-grenek-dalam-biola-Melayu.html. Diakses 20 Januari 2017
Saleh, Idwar. 1983. Wayang Banjar dan Gamelannya. Banjarmasin: Museum lambung Mangkurat.
Takari, Muhammad. 2003. Kesenian Melayu: Kesinambungan, Perubahan, dan Strategi Budaya. Batam: Depertamen Etnomusikologi FIB USU dan Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI).

Senin, 25 Februari 2019

KOPIAH JANGANG KHAS BANJAR ZAMAN DAHULU HANYA DI PAKAI OLEH ORANG ALIM

KOPIAH JANGANG KHAS BANJAR
ZAMAN DAHULU HANYA DI PAKAI OLEH ORANG ALIM

Proses pembuatan kopiah jangang ini tergolong rumit karena akar kayu itu sepenuhnya dianyam menggunakan pola-pola khusus dan dikerjakan secara manual oleh tangan-tangan manusia (HandMade) Polanya ada yang berupa gelombang, bunga teratai dan hati.
"Kalau akar jangangnya biasanya diambil di pedalaman hutan di Kalimantan Tengah seperti di Puruk Cahu dan Muara Teweh," katanya.
Akar-akarnya itu, saat baru saja diambil dari pohonnya, biasanya akan dikupas dulu kulit luarnya. Setelah itu barulah tampak kulit lapisan kedua. Di lapisan ketiganya teksturnya lebih lembut, biasanya disebut hati jangang.
"Yang bisa diolah menjadi kopiah adalah kulit lapisan kedua dan hatinya. Kalau kulit luarnya keras, tak bisa dibentuk jadi kopiah," ujar pria asli Desa Margasari, Kabupaten Tapin yang juga perajin kopiah jangang ini.
Hasil olahan kulit lapisan kedua dengan hatinya sangat jauh berbeda. Kopiah berbahan kulit jangang lapisan kedua lebih keras, tebal, lubangnya besar-besar jika dibandingkan dengan kopiah berbahan hati jangang. Kopiah berbahan hati jangang jauh lebih halus dan lembut, anyamannya tampak lebih rapi, rapat, lubangnya kecil-kecil dan motifnya lebih indah.
"Kalau yang lapisan kedua, motifnya sedikit karena susah membentuk anyamannya. Makanya lubangnya besar-besar. Kalau yang berbahan hati jangang lebih lembut, namun harganya lebih mahal karena mengolahnya lebih rumit, bilah hati jangangnya kecil-kecil sehingga membuatnya diperlukan ketelitian yang lebih," paparnya.

Proses pembuatannya memakan waktu lama. Untuk yang berbahan kulit lapisan kedua, sebuahnya dibuat selama dua hari. Sementara yang berbahan hati, sebuahnya bisa mencapai sebulan baru selesai.
Tak heran jika kemudian harga jual
kopiah jangang berbahan hatinya ini lebih mahal, yaitu mencapai Rp 400.000 sampai 500.000 per buahnya. Sementara yang berbahan kulit jangang lapisan kedua berkisar Rp 30.000 hingga Rp 125.000.
"Harganya bervariasi, tergantung kualitas dan kerapatan anyamannya juga daya tahannya. Kalau yang berbahan kulit lapisan keduanya lebih murah dan daya tahannya sekitar dua tahun saja, sedangkan yang berbahan hatinya bisa hingga lima tahun," paparnya.

Di balik pesona dan kerumitan pembuatannya, kopiah jangang ternyata memiliki strata sosial tersendiri bagi masyarakat Banjar di masa lalu. Ratusan tahun lalu, masyarakat muslim di Kalimantan Selatan belum mengenal jenis peci seperti yang ada sekarang ini. Karenanya, masyarakatnya berinisiatif membuat sendiri untuk keperluan beribadah. http://azmirza.blogspot.com
Karena di sini banyak pohon jangang dan akarnya bisa dibentuk, akhirnya dibuatlah kopiah berbahan akar jangang ini. Dulu, pemakainya hanya para santri dan ulama.
"Menurut cerita orang-orang tua kami dulu di Desa Margasari, siapa yang memakai kopiah jangang ini dianggap bisa membaca doa atau memimpin majelis pengajian. Makanya, dulu kopiah ini tidak dipakai oleh sembarang orang, hanya para santri dan ulama yang sekiranya bisa dipercaya menjadi imam salat atau penceramah yang berhak memakainya. Pokoknya, zaman dulu siapa yang tampak memakai
kopiah jangang ini, dia pasti orang alim. Kalau yang tidak memakainya, pasti bukan orang alim," tuturnya.
Tak heran, dulu kopiah ini sangat populer di kalangan Pondok Pesantrian ( Pesantren) Banyak santri atau kaum alim ulama yang memakainya dan karena keindahan unsur tradisionalnya sehingga menarik banyak minat kalangan lainnya untuk dijadikan buah tangan khas Banjar Kalimantan Selatan.
Seiring berjalannya waktu dan banyak peminatnya dari luar kalangan pesantren, kopiah ini kemudian turun kasta menjadi peci yang sering dipakai masyarakat umum. Tak jarang, banyak pula yang membelinya untuk sekadar oleh-oleh bagi orang-orang Banjar yang bepergian ke luar negeri. "Buat dikasih-kasihkan ke orang luar negeri sana, kata mereka, sekadar untuk mengenalkan kerajinan khas Banjar ke luar negeri," bebernya.


Berminat membeli kopiah khas ini? Anda bisa mengunjungi Pasar Sudimampir di Banjarmasin. Lapak para penjualnya biasanya di dekat toko-toko penjual karpet. Posisinya persis di dekat lokasi parkir pasar ini.
Menuju kemari, bisa menggunakan kendaraan umum seperti ojek, bajaj dan angkutan umum. Biasanya, angkutan umum dari Pasar Sentra Antasari melewati lokasi ini, turun saja di Jembatan Sudimampir, posisi pasar ini persis di samping jembatan tersebut.

#FolksOfBanjar #KhasBanjar #KopiahJangang #AdatBudayaBanjar #UrangBanjar #MelayuBanjar #KalimantanSelatan 

PENYAKIT KELALAH PADA WANITA BANJAR

Penyakit Kelalah Pada Wanita Banjar


Urang Banjar melalui beberapa siklus hidup dengan penuh kehati-hatian. Berbagai pantangan harus dihindari untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi. Salah satu kepercayaan yang telah diyakini turun temurun adalah penyakit Kelalah. Nama ini diambil dari kondisi atau situasi dimana seorang wanita yang baru saja melahirkan mengalami kelelahan yang luar biasa yang ditandai dengan demam tinggi atau yang sering dinamakan mariap dingin (meriang).
Kelalah ini berdampak serius bagi seorang wanita yang baru melahirkan. Selain karena tubuhnya masih menyesuaikan dengan sakit atau luka setelah melahirkan, wanita ini juga harus berjuang melawan demam yang tinggi di sekujur tubuhnya. Banyak wanita Banjar yang percaya bahwa penyakit Kelalah yang tidak segera ditangani akan berakibat kepada kematian.
Masa pantangan bagi wanita yang baru melahirkan adalah 40 hari. Selama dalam rentang masa ini, ada beberapa pantangan penting yang harus dijaga agar terhindar dari penyakit Kelalah. Jenis-jenis pantangan yang bisa mengakibatkan penyakit Kelalah adalah:
1. Kelalah Makanan, Secara umum, masyarakat Banjar berkeyakinan bahwa selama 40 hari ibu pasca bersalin dianjurkan menu sehari-hari yang diperbolehkan untuk sang ibu adalah nasi, ikan haruan/gabus asin kering yang dibakar, dan cacapan atau acar bawang merah. Kadang-kadang ikan asin dapat diganti dengan telur rebus. Ada pula yang berkeyakinan menyatakan bahwa telur dan ikan asin tidak bisa dimakan karena berasal dari yang bernyawa, sehingga selama 40 hari ibu hanya makan nasi, sayur, gula merah, air teh, air kopi. Pada masa lalu di daerah Banjar sayur susah didapat, maka yang dimakan adalah nasi dan gula merah saja. Pengolahan makanan hanya boleh dengan cara merebus, mengukus dan memanggang.
2. Kelalah Gawian/Pekerjaan. Selama 40 hari ibu yang baru melahirkan dilarang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu lantai, memasak, melakukan kegiatan di bawah sinar matahari.
3. Kelalah Lakian. Jenis kelalah ini terjadi apabila ibu yang baru melahirkan melanggar pantangan tersentuh laki-laki atau berhubungan seksual sebelum genap 40 hari.
Bahan yang dipakai untuk menyembuhkan Kelalah adalah air. Bagi masyarakat Banjar, air merupakan media penyembuhan yang sangat dominan, karena sifatnya yang mendinginkan. Air digunakan dalam berbagai ritual upacara dan pengobatan. Apabila kita amati sudah menjadi kebiasaan urang Banjar untuk membawa air kepada orang yang diyakini berilmu untuk kemudian diminumkan atau dimandikan. Pada kasus Kelalah, air digunakan untuk merendam sisa makanan penyebab kelalah, hasil dari rendaman tadi diobatkan dengan cara diusapkan ke seluruh tubuh maupun untuk diminum. Biasanya bagian dari makanan yang menyebabkan Kelalah diambil sedikit kemudian dibuat ke dalam mangkok kecil kemudian direndam selama beberapa waktu atau didiamkan. Setelah itu mangkok tadi diambil dan airnya digunakan untuk mengobati.
Untuk kondisi orang yang sudah lupa penyebab Kelalah, biasanya digunakan jelaga di dapur. Penggunaan jelaga dapur merupakan resep turun temurun untuk menyembuhkan Kelalah bagi orang yang lupa penyebab terkena Kelalah. Jelaga bekas pembakaran makanan di dapur dikikis sebagian, jelaga ini bisa yang berasal dari kayu bakar, peralatan memasak atau bagian-bagian dapur yang menjadi jelaga. Bagian yang dikikis tadi direndam dalam mangkok kecil dan disaring. Air tersebut kemudian langsung diminum atau cukup diusapkan ke tubuh.

Source : Kesultanan Banjar (Official Website)

FILOSOFI NASI ASTAKONA KULINER KHAS KESULTANAN BANJAR YG MULAI LANGKA


Inilah Filosofi Nasi Astakona, Kuliner Khas Kesultanan Banjar Yang Mulai Langka

Nasi Astakona atau Nasi Adap-adap  adalah suatu istilah dari sastra Indonesia lama yang berarti segi banyak. Nasi astakona merupakan gambaran dari banyaknya sajian dari yang dihidangkan pada suatu tempat, khusus dari talam yang bertumpang ‘banyak’ tiga atau lima susun.
Banyaknya sajian itu merupakan sebuah kesatuan hidangan yang terdiri atas tiga komponen pokok makanan, yaitu nasi, lauk pauk, dan buah – buahan.
Hidangan nasi Astakona berasal dari tradisi kesultanan Banjar untuk suatu upacara tertentu atau santap bersama dengan adanya tamu kehormatan. Namun dalam kurun waktu selanjutnya disajikan dalam acara ‘Bededapatan’, yaitu santap bersama bagi pengantin setelah bersanding di pelaminan (betataian).
Pencicipan nasi Astakona. Secara simbolis penyendokkan pertama nasi Astakona diambil dengan sendok kayu oleh seorang tokoh wanita tua dan menyerahkannya kepada tamu kehormatan. Bilamana dalam acara penganten, nasi tersebut diserahkan kepada kedua pengantin, selanjutnya diikuti oleh hadirin sesuai dengan kedudukan dan situasinya. Astakona sejak lama lazim tidak mempergunakan alat makan seperti sendok dan garpu karena di situ tersedia pula air tempat cuci tangan dan serbet kain.

Latar belakang filosofis.
Nasi Astakona sesungguhnya memiliki makna filososfis dalam tata kehidupan orang Melayu Banjar, hal itu dapat dilihat dan dihayati pada beberapa sarana dan bagian – bagian penyajian.
Talam dalam jumlah tiga atau lima menunjukkan jumlah yang ganjil, dimana dalam setiap bilangan dan sarana masyarakat Banjar selalu menggunakan angka ganjil.
Makanan terdiri dari tiga komponen pokok (nasi dari beras/padi yang tumbuh di tanah, lauk pauk dari ikan yang hidup di air, dan buah-buahan yang tinggi di udara) adalah menggambarkan keterikatan hidup manusia dengan tanah, air, dan udara.
Dalam beberapa momen tertentu orang banjar selalu mendahulukan peranan orang tua (termasuk pengambilan pertama secara simbolik nasi astakona) sebagai lambang penghormatan terhadap orang yang memiliki kelebihan dalam hal usia, pengalaman, kewibawaan, dan afdhal (keutamaan dan barakat).

#FolksOfBanjar #NasiAstakona #NasiAdapAdap #AdatIstiadatBanjar #BudayaBanjar #BanjareseCulinary 

MAQAM DATU LABAH

MAQAM DATU LABAH
(Haji Gusti Saaluddin Bin Gusti Maleh)

Makam Wali Allah yang satu ini mulai dikenal masyarakat umum. Makam Datu Labah, tidak jauh tempatnya dengan keluarga dan pusara salah satu gurunya yaitu Syekh Ahmad bin H. Muhammad As’ad di Balimau.

Datu Labah bernama asli Haji Gusti Saaluddin bin Gusti Maleh diperkirakan lahir sekitar tahun 1821. Ayahnya seorang Pangeran di Kesultanan Kutawaringin yang bergelar Pangeran Adipati Antakesuma 2 bin Sultan Tuha Kesuma Yudha, beliau bersaudara kandung dengan Sultan Imanuddin bin Sultan Tuha Kesuma Yudha Sultan Kutawaringin ke IX, seorang sultan yang menancapkan tiang Sangga Banua sebagai simbol dipindahkannya ibukota Kesultanan Kutawaringin dari Kotawaringin Lama (Kolam) ke Pangkalan Bun pada tahun 1811 silam.

Dari beberapa catatan keluarga Pagustian di Kotawaringin, Martapura dan Amuntai. Pangeran Adipati Antakesuma 2 memiliki banyak anak di antaranya Ratu Sukma Negara dan Ratu Anom Suryawinata, pada versi lain disebutkan juga Haji Gusti Abdul Kopi.

Haji Gusti Saaluddin memiliki gelar kebangsawanan Pangeran Suryandaka Ardi Kesuma seseorang yang luas wawasan dalam ilmu agama dan juga sakti penuh wibawa. Haji Gusti Saaluddin diangkat sebagai seorang penghulu pada wilayah Banua Lima sekitar tahun 1860-1865. Distrik Amuntai/Amonthaij/Amoenthaij/Amoenthai adalah bekas distrik (kawedanan) yang merupakan bagian dari wilayah administratif Onderafdeeling Amuntai, Alabio dan Balangan pada zaman kolonial Hindia-Belanda dahulu.

Sekadar gambaran sistem pemerintahan pada masa Sultan Adam Al Watsiqubillah seperti berikut :

1. Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu : hakim rendah
4. Lurah : langsung sebagai pembantu
5. Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
6. Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
7. Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, di antaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
8. Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
9. Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.

Haji Gusti Saaluddin yang bergelar Datu Labah atau Datu Sulabah atau Datu Labai sejak kecil berada dalam lingkungan keluarga berkecukupan dan taat beragama. Ayahnya seorang Pangeran Adipati di Kesultanan Kutawaringin.

Masa mudanya dihabiskan menuntut ilmu agama di kota Martapura, kota yang kala itu terkenal sebagai gudangnya ulama-ulama terkemuka, para dzuriyyatnya Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang merupakan benteng aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah pada masa itu dan sampai sekarang.

Haji Gusti Saaluddin adalah keturunan bangsawan banjar yang dikenal berjiwa ksatria dan sangat mencintai rakyatnya. Saat diangkat menjadi penghulu, Haji Gusti Saaluddin bertekad menunaikan tugas dan kewajibannya itu dengan sebaik-baiknya yang didasari kecintaan dan baktinya kepada tanah leluhur datu-datunya.

Banua Lima atau sekarang orang menyebut Banua Enam merupakan sebuah wilayah dari Kesultanan Banjar yang meliputi daerah Amuntai, Alabio, Sungai Banar, Kalua dan Negara.

Pada masa Banua Lima masuk dalam kancah Perang Banjar yang merupakan reaksi terhadap sengketa pergantian tahta kesultanan ketika Pemerintah Hindia Belanda terlalu ikut campur dalam hal penunjukkan calon sultan yang sebenarnya kurang disenangi rakyat.

Dalam hal ini antara Pangeran Tamjid yang didukung penuh Belanda dengan Pangeran Hidayat yang didamba-dambakan rakyat sebagai pengganti kakeknya, Sultan Adam Al Watsiqubillah.

Haji Gusti Saaluddin yang merupakan salah satu tokoh Banua Lima dihadapkan keputusan sulit untuk menjatuhkan keberpihakan kepada siapa, antara membela marwah Kesultanan Banjar atau menghadapi taktik devide et impera yang dilakukan Belanda.

Namun setelah melalui tafakkur Ilallah serta sudut pandang yang murni terlahir dari hati seorang Putera Asli Banua, beliau mengambil keputusan bulat untuk bertekad berjuang bersama-sama Pangeran Hidayat,Tumenggung Jalil, Penghulu Rasyid, Gusti Matseman, Gusti Matsaid dan lain-lainnya.

DALAS BELANGSAR DADA, MUN MANYARAH KADA …Inilah kalimat yang terpatri di dalam jiwa para Pejuang Banjar saat itu, mereka merindukan syahid membela tanah leluhur dari kesewenang-wenangan Pemerintah Hindia-Belanda.

Belanda geram bukan main ketika mengetahui Haji Gusti Saaluddin bersama tokoh-tokoh Banua Lima lainnya membelot berpihak dan mendukung penuh Pangeran Hidayat sebagai ahli waris yang berhak menduduki tahta Kesultanan Banjar berdasarkan surat wasiat Sultan Adam Al Watsiqubillah.

Puncaknya ditandai dengan Haji Gusti Saaluddin menjadi Pamayung Sultan Banjar ketika Penabalan Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan Banjar di Amuntai Sungai Banar.

Bergabungnya beliau di barisan Pejuang Banjar menimbulkan kerisauan dan kegusaran di kalangan pemerintah hindia belanda karena beliau dianggap salah satu sosok yang berpengaruh menjadi panutan di wilayah Banua Lima saat itu.

Kedudukannya sebagai seorang Penghulu serta merta dicopot pemerintah hindia belanda secara sepihak. Disebabkan mereka murka sekali setelah mengetahui keputusannya yang dianggap membangkang kepada Pemerintah Hindia Belanda, sampai-sampai gelar gustinya pun dihapuskan oleh Pemerintah Belanda.

Kampung Balimau dijadikannya tempat persembunyian dan pusat perjuangannya melawan penjajah karena letaknya yang strategis, sekaligus juga dekat dengan keluarga dan pusara salah satu gurunya yaitu Syekh Ahmad bin H. Muhammad As’ad Balimau.

Syekh Ahmad bin Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Hubungan kekerabatan keluarga kesultanan dan keluarga Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datu Kalampayan sudah terjalin lama. Sejak Syekh Muhammad Arsyad disekolahkan ke Mekkah oleh Sultan Tahlilullah Kemudian setelah datang dari Mekkah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dikawinkan dengan Ratu Aminah binti Pangeran Thaha bin Sultan Tamjidillah, yang banyak melahirkan ulama-ulama besar tidak hanya di Banua Banjar tapi juga Kalimantan.

Haji Gusti Saaluddin di kampung ini menyamar sebagai seorang pengemis yang oleh masyarakat zaman itu disebut Labai sehingga membuat prajurit belanda terkecoh, sulit menemukan keberadaannya yang selalu berpindah-pindah tempat.

Dan juga di lain waktu sering wajah dia dihinggapi binatang lebah lalu membentuk seperti janggut yang menutupi wajah Haji Gusti Saaluddin. Hingga masyarakat ada yang menyebut dia Datu Labah.

Haji Gusti Saaluddin memiliki beberapa orang anak yang diketahui ada 4 orang anak yaitu Gusti Anang Acil,Gusti Biduri,Gusti Madari, dan Gusti Jawiyah. Namun dari cerita tutur dzuriyyat beliau yang ada di Balimau dan Danau Panggang, masih banyak anak-anak Datu Labah dari istri lainnya seperti di antaranya Gusti Shofiyyah yang menikah dengan Datu Panjang (gelar) menurunkan dzuriyyat di Desa Karang Paci seperti Suanang, Amin, Jumintan, Aluh Acil, Ilas dan Ampal.

Sebelum wafat beliau berdoa kepada Allah SWT untuk diberikan pahala Fii Sabilillah 7 turunan kepada dzuriyyat-dzuriyyatnya.

Ketokohan beliau sangat masyhur hingga setelah wafatnya, dari cerita turun temurun dari salah seorang dzuriyyatnya bahwa Haji Gusti Saaluddin berwasiat sebelum meninggal apabila sampai masanya perang berkepanjangan maka ambil lah sedikit bagian dari tanah di sekitar makam beliau untuk dijadikan “syarat” saat hendak pergi berperang.

Source : Muhammad Randi Rafsanjani

ADAT GERBANG BANJAR ZAMAN BAHARI

ADAT GERBANG BANJAR ZAMAN BAHARI

Keraton Banjar
Pada Zaman bahari / zaman dahulu, pada masa kerajaan – umum didepan istana Raja dan didepan rumah-rumah orang ternama akan selalu ada gerbang sebagai lambang kebesaran dari tiap-tiap orang ternama yang menempati rumah itu.
Bentuk dan corak gerbang itu harus sesuai dengan darjah/ derajat tuan rumah masing-masing. Ada lima macam gerbang bahari yang dikenal:

1. GERBANG SUNGKUL AWAN BATULIS (Gerbang Raja)

2. GERBANG GANDJUR (Gerbang Mantri Besar)

3. GERBANG PUTJUK RABUNG / PUCUK REBUNG (Gerbang Kandang Adji)

4. GERBANG TEMENG (Gerbang Pahlawan)

5. GERBANG BENDJI (Gerbang Mantri, Lurah dan para Saudagar)

GERBANG SUNGKUL AWAN BATULIS
Tiang bangunannya bundar dan berupakan
“Batung badarah batung batulis” (Batung sakti pada jaman Putri Junjung Buih). Pada tiang sebelah kanan terdapat ukiran Naga Putih Balimbur dan pada tiang sebelah kiri terdapat ujkiran Ular Lidi Balimbur. Sungkul-sungkul gerbang tatah (ukiran) Awan batulis.
Ditengah-tengah gerbang pada bagian antara “Papilis Malang” dengan “Sangkul” ukiran yang merupakan sebuah jembangan kaca tempat buluh merindu (Pring Sakti).
Disebelah kanan jembangan ukirang yang membentuk bayangan burung Merak dan disebelah kiri ukiran bayangan burung Ardhalika (Pusaka Kerajaan Raja Banjar).
Dipuncak sungkulnya terdapat ukiran yang membentuk Kembang Nagasari (Kembang yang berasal dari zaman Puteri Junjung Buih dengan Bambang Padmaraga – Sukmaraga).
Dasar seluruh ukiran dibagian tengah gerbang bermotive Kembang Melor Melayap (sebagai tanda kesucian), Tatah Jaruju (Sebagai tanda Penangkis Mara Bahaya), Bayam Raja (Sebagai Tanda Luhur), dan Usir-usir (Sebagai tanda tidak putus rejeki).

GERBANG GANDJUR
Pada bagian depan gerbang yang budar sebagai lambang kesetiaan memegang kendali pemerintahan Kerajaan – dalam artian tetap setia selam bumi dan langit masih ada.
Gandju adalah perlambangan dari “Wani Dalam Budjur dan Banar” – Berani dalam hal yang lurus dan benar.
Kembang Cempaka melambangkan penghormatana yang tulus dan ikhlas.

GERBANG PUTJUK RABUNG
Pucuk Rabun – Pucuk Rebung, melambangkan kehidupan yang rakat dan mufakat. Sedangkan ukiran Kembang Bayam Raja, melambangkan turunan bangsawan (Kadang Adji).

GERBANG TEMENG
Sebagai Lambang Kota mara benteng sara. Dan memiliki beberap ukiran kembang:
Kembang pandan yang melambangkan Satria Perkasa
Kembang kacapiring yang melambankan Satria yang suci
Kembang Tjulan yang melambangkan Satria yang luhur

GERBANG BENDJI
Lambang kesuburan dan kehijau-hijauan


Source :  Suluh Sejarah Kalimantan

PENGINANGAN MASYARAKAT MELAYU BANJAR


PENGINANGAN MASYARAKAT BANJAR

Panginangan: Wadah Sirih Pinang Suku Melayu Banjar, Kalimantan Selatan

Panginangan adalah sebuah wadah yang digunakan oleh masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan untuk meletakkan dan menyimpan bahan-bahan menginang atau menyirih yang disebut kinangan.
Panginangan dapat terbuat dari anyaman bambu atau rotan, emas, perak, dan kuningan.

1. Asal-usul
Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang banyak mendiami Pulau Kalimantan bagian selatan , tengah dan timur  Di kalangan masyarakat ini, terdapat kreasi budaya unik bernama Penginangan. Penginangan adalah sebuah wadah untuk meletakkan dan menyimpan bahan-bahan menginang. Bahan-bahan untuk menginang itu disebut kinangan.
Menginang sendiri adalah kegiatan mengunyah daun sirih yang dicampur dengan kapur, buah pinang,gambir dan tembakau yang digulung sebesar bola tenis meja.
Panginangan dalam kebudayaan Melayu Banjar berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghormati tamu, baik dalam acara-acara adat seperti perkawinan maupun dalam kehidupan sehari-hari (Triatno et al., 1994/1995).

Penginangan, yang umumnya dalam kebudayaan Melayu disebut tepak sirih , berhubungan erat dengan kebiasaan menginang atau menyirih (Mahyudin Al Mudra, 2006). Kebiasaan ini konon telah dilakukan oleh umumnya masyarakat Melayu sejak ribuan tahun silam. Para pelancong dan peneliti Eropa yang pernah singgah ke nusantara juga memberikan kesaksian bahwa kebiasaan menginang atau menyirih dilakukan baik oleh kalangan bangsawan maupun rakyat biasa (http://melayuonline.com/ensiclopedy/?a=SnN1L2cveVRteDdaM2dl=&l=menginang-atau-menyirih ).

Menginang memiliki sebutan yang berbeda-beda di beberapa kebupatian di Kalimantan Selatan. Di kalangan suku Bukit yang hidup di Kebupatian Kotabaru, menginang disebut Lahup. Sebutan tipa atau penimpaan untuk menginang digunakan oleh suku Bukit yang tinggal di Kebupatian Tapin. Suku Mandar yang hidup di Kebupatian Kotabaru menyebut menginang sebagai pattaruang. Sementara itu, Suku Bugis yang tinggal di Kebupatian Kotabaru menyebut menginang sebagai atotang ((Triatno et al., 1994/1995).

Kapan tradisi menginang dikenal oleh masyarakat Melayu Banjar tidak dapat diketahui secara pasti. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Banjar, pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), banyak orangtua Banjar yang melumuri wajah anak gadis mereka dengan cairan bekas kunyahan sirih pinang yang berwarna merah kehitaman itu agar terlihat buruk. Hal ini dimaksudkan agar anak gadis mereka tidak diambil oleh tentara / serdadu Jepang (Triatno et al., 1994/1995:14).
Penginangan sebagai alat menginang tidaklah berdiri sendiri. Panginangan selalu disertai dengan alat-alat lainnya seperti kacip (untuk mengupas dan memotong buah pinang), tutukan atau lesung sirih (untuk melumatkan kapur, daun sirih, atau buah pinang; biasanya, alat ini digunakan oleh orangtua yang giginya sudah tidak kuat), dan paludahan atau pangucuran (wadah untuk membuang ludah setelah menginang) (http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1703 ).

Penginangan orang Banjar dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan asal panginangan tersebut. Misalnya, panginangan asal Martapura yang berbentuk kotak segi empat biasa berbeda bentuk dan bahannya dengan panginangan asal kebupatian Hulu Selatan yang berbentuk burung. Perbedaan bentuk dan bahan ini juga dimungkinkan karena pemiliknya berbeda. Panginangan milik raja atau bangsawan biasanya terbuat dari kuningan, perak, atau emas. Sementara itu, panginangan milik rakyat biasa umumnya terbuat dari kayu, anyaman bambu, atau rotan.

2. Bahan yang Digunakan
Bahan-bahan untuk membuat panginangan terdiri dari beberapa macam, yaitu paring tali (bambu yang dibelah-belah tipis lalu dianyam), paikat (rotan), kayu, kuningan, perak, emas, dan lain-lain. Bambu dan rotan diperoleh dari hutan Kalimantan Selatan sementara emas, kuningan, dan perak biasanya diperoleh dari daerah luar Kalimantan Selatan. Bahan-bahan ini dirakit menjadi panginangan secara tradisional, yaitu masih menggunakan tangan manusia dan bukannya menggunakan mesin.

3. Bentuk dan Ornamen
Penginangan dapat dibedakan menurut bentuknya. Bentuk-bentuk panginangan adalah sebagai berikut.
a. Penginangan bokor
Panginangan bokor sering digunakan dalam upacara adat perkawinan dan ritual bawanang pada suku Bukit di Kebupatian Hulu Sungai Tengah. Penginangan ini memiliki tiga bentuk berbeda yang masing-masing unik dan memuat nilai seni tersendiri. Ketiga bentuk panginangan ini adalah sebagai berikut:

Penginangan yang memiliki bentuk wadah bundar tinggi. Pada panginangan jenis ini, tempat daun sirih berbentuk kerucut terpotong. Tempat pinang dan gambir berbentuk bulat berkaki sedangkan tempat kapur berbentuk silinder. Bahan penginangan ini terbuat dari kuningan dan ornamennya berupa motif floral, belah ketupat, dan gigi haruan.
Penginangan dengan bentuk wadah bundar tinggi. Pada bagian tengah di sisi dalamnya terdapat tempat gambir dan pinang yang diberi tutup berbentuk bulat. Tempat kapur berbentuk silinder sedangkan tempat tembakau berbentuk bulat dan diberi tutup serta memiliki tiang kecil. Bahan penginangan terbuat dari kuningan dan memiliki dekorasi ukir dengan ornamen motif floral, gigi haruan, geometris, dan mata titik.
Penginangan dengan bentuk wadah bundar tinggi dan alas pipih bundar. Bagian atas wadah dibentuk menjadi lekukan bergerigi seperti kelopak bunga. Pada bagian dalamnya, terdapat anak penginangan untuk tempat sirih yang berbentuk kerucut terpotong. Tempat pinang berbentuk bulat berkaki dan memiliki tutup. Tempat kapur berbentuk silinder. Tempat tembakau berbentuk bulat dan memiliki tutup yang bertangkai atas dan bawahnya. Bahan penginangan dari kuningan dan terdapat ornamen motif geometris, tumpal, gigi haruan, dan bunga.

b. Penginangan buai (bulat)
Penginangan buai biasa digunakan untuk upacara adat kehamilan pertama ketika umur kandungan menjelang tujuh bulan. Panginangan ini memiliki bentuk wadah bulat dan diberi tutup. Pada bagian tengah wadah, terdapat tangkai sebagai pegangan yang dikelilingi oleh wadah-wadah kecil kinangan, yaitu wadah sirih berbentuk kerucut dan bersegi, wadah pinang dan gambir berbentuk bulat dan bertutup, dan wadah kapur berbentuk silinder. Bahan panginangan ini dari kuningan dan memiliki dekorasi berupa ornamen motif swastika, gigi haruan, bintik-bintik, dan floral.

c. Penginangan segi delapan
Penginangan ini memiliki bentuk wadah segi delapan dan memiliki tutup. Pada bagian dalam panginangan ini, terdapat wadah-wadah kinangan (yaitu wadah daun sirih berbentuk kerucut dan bersegi), wadah kapur berbentuk buah manggis, dan wadah pinang dan gambir berbentuk bulat bersegi. Seluruh wadah kinangan tersebut memiliki tangkai pegangan. Bahannya kuningan dan memiliki dekorasi berupa ornamen cetak ukir bermotif tumpal, gores, bintik-bintik, swastika, dan gigi haruan.

d. Penginangan burung
Panginangan ini memiliki bentuk wadah seperti seekor burung yang sedang duduk. Pada bagian dalamnya, terdapat wadah-wadah kinangan. Tepat di bawah leher burung adalah tempat kapur. Bagian badan burung merupakan tempat daun sirih yang tutupnya berbentuk sayap burung. Bagian ekor disekat menjadi tiga bagian untuk tempat gambir, pinang, dan tembakau. Bahan panginangan ini terbuat dari kuningan dengan dekorasi ornamen motif lingkaran kecil, flora dan garis-garis lengkung pada bagian sayap dan ekor serta garis miring dan lengkung pada bagian pundak. Selain wadah kinangan, penginangan inilah yang juga biasa digunakan sebagai tempat meletakkan atau menyimpan uang dalam upacara adat.

e. Penginangan ratu
Penginangan ini memiliki bentuk wadah seperti kotak segi delapan. Pada bagian dalamnya, terdapat wadah-wadah kecil tempat kinangan, yaitu tempat daun sirih berbentuk bulat pipih yang memiliki dua lubang di mana bagian bawahnya terpotong tidak simetris. Tempat kapur berbentuk silinder, terbuat dari kaca yang dilapisi perak tipis dan memiliki tutup. Tempat pinang, tembakau, dan gambir berbentuk lonjong dan memiliki tutup. Pada bagian bawah kotak, terdapat kaki berbentuk empat persegi panjang berhias bunga. Panginangan ini terbuat dari kayu yang dilapisi perak tipis berwarna putih kehitaman. Panginangan ratu biasanya digunakan sebagai pelengkap upacara adat perkawinan Kerajaan Banjar.

4. Proses Pembuatan
Perbedaan bahan dan bentuk berpengaruh pula terhadap proses pembuatan panginangan. Perbedaan dalam proses pembuatan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahan paring tali (bambu) atau paikat /pekat (rotan)
Proses pembuatan penginangan dari bahan bambu dan rotan hampir sama. Langkah pertama dimulai dengan memilih bambu dan rotan yang agak muda dan kuat. Setelah itu, bambu dan rotan dibelah tipis-tipis agar mudah dilekukkan dan tidak mudah patah.
Setelah belahan bambu dan rotan siap, langkah selanjutnya adalah menganyam belahan-belahan bambu dan rotan tersebut sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Biasanya, bentuk yang banyak digemari adalah segi empat atau mirip kotak dengan ukuran panjang lebih kurang 40-50 cm dan lebar 30 cm. Ukuran ini dianggap sesuai karena dapat memuat dan menyimpan seluruh kinangan.
Setelah bentuk segi empat selesai dibuat, bagian dalam panginangan biasanya dibuat sekat-sekat agar kinangan memiliki tempat masing-masing. Hal ini untuk memudahkan orang yang menginang mengambil kinangan dan agar kinangan awet jika akan dipakai berhari-hari. Proses pembuatan sekat-sekat bagian dalam panginangan ini sama dengan pembuatan kotak panginangan pertama, namun ukurannya dibuat lebih kecil agar dapat dimasukkan ke dalam kotak panginangan yang pertama.

b. Bahan kayu
Langkah pertama adalah memilih kayu jati yang baik, yaitu yang memiliki serat-serat halus. Serat yang halus sangat penting karena dapat memudahkan dalam pemberian ornamen, khususnya ketika diukir. Setelah serat yang halus dipilih, kayu kemudian dibelah-belah seperti papan dan selanjutnya dipotong-potong sesuai kebutuhan.
Setelah terbentuk potongan sesuai yang diinginkan, potongan kayu kemudian dirangkai menjadi kotak panginangan. Pada bagian dalam kotak, dibuat sekat-sekat untuk memisahkan tempat-tempat untuk kinangan. Tentu saja hal ini dimaksudkan agar kinangan tidak bercampur dan agar mudah mencari serta menyimpannya.
Setelah kotak terbentuk dengan sekat-sekatnya, kotak lalu dihias dengan ornamen yang diinginkan. Motif ornamen yang diukir biasanya garis-garis lurus dan floral.

c. Bahan kuningan, perak atau emas
Proses pembuatan panginangan dari bahan kuningan, perak, atau emas memiliki kesamaan. Pertama cetakan panginangan dibuat sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Cetakan (limbagan) dibuat dari lilin yang dibungkus dengan tanah liat dan dicampur dengan pasir. Cetakan dibuat dengan memberi lubang (seperti tempat keluar pada ceret atau teko air).
Setelah cetakan jadi, selanjutnya dibakar untuk mengeluarkan lilinnya. Jika lilin sudah dikeluarkan, selanjutnya dimasukkan cairan kuningan, emas, atau perak sampai penuh di dalam cetakannya. Selang beberapa lama (kurang lebih 0,5-1 jam), cetakan didinginkan dengan disiram air agar cetakan tersebut retak-retak sehingga mudah untuk dilepaskan dari cairan emas, perak, atau kuningan yang ada di dalam cetakan.
Jika semua cetakan tanah sudah dilepaskan semua dari cairan emas, perak, atau kuningan, maka bentuk panginangan akan terlihat. Agar terlihat bagus, maka hasil cetakan perlu dihaluskan dan dirapikan dengan kikir pada lapisan luarnya. Selain itu, agar bentuk dan modelnya lebih indah, hasil cetakan dapat diukir dengan motif-motif dan ornamen-ornamen tertentu, seperti motif bunga, daun, mata itik, tanaman, atau sekadar garis-garis melengkung.
Jika semua proses di atas selesai dilakukan, maka panginangan ini akan terlihat lebih cantik. Biasanya panginangan dari bahan emas, perak, atau kuningan ini dicetak dalam bentuk panginangan bokor, buai, segi delapan, ratu, dan burung.

5. Nilai-nilai
Penginangan sebagai kreasi budaya masyarakat Melayu Banjar mengandung beragam nilai kebudayaan dan kehidupan. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.

Seni. Nilai ini tercermin dari bentuk panginangan yang dibuat begitu indah dengan motif serta ornamen yang dicetak secara detil. Bentuk yang indah ini tentu saja tidak terlepas dari jiwa seni pembuatnya yang mencerminkan kebudayaan Banjar yang tinggi. Jiwa seni yang tinggi berbanding lurus dengan hasil budaya yang bernilai tinggi pula.
Ketelitian dan kesabaran. Pembuatan panginangan dengan berbagai bentuk dan bahan menyiratkan ketelitian dan kesabaran pembuatnya. Hal ini dapat dibayangkan dari proses pembuatan yang membutuhkan ketelitian, misalnya dalam memilih bambu dan rotan serta proses penganyamannya. Ketika membuat panginangan dari bahan emas, perak, atau kuningan, diperlukan kesabaran karena harus menunggui cetakan yang sedang dibuat dan menunggu hingga hasil cetakan kering sehingga mudah dilepaskan. Proses yang panjang ini tentu saja memerlukan kesabaran dan ketelitian yang terlatih.
Pelestarian budaya. Menginang saat ini menjadi aktivitas yang sulit lagi ditemukan di perdesaan Kalimantan Selatan. Panginangan yang semula menjadi penanda untuk menghormati tamu dalam acara-acara adat sudah jarang disediakan oleh masyarakat Banjar. Oleh sebab itu, panginangan sebagai tradisi budaya asli orang Banjar perlu dilestarikan karena memiliki nilai budaya yang penting.

6. Penutup
Penginangan adalah wujud kreasi masyarakat Melayu Banjar masa silam. Bentuk penginangan yang indah dan artistik menjadikan benda ini unik dan berharga. 

Oleh karena itu, panginangan sebagai sebuah benda budaya menuntut untuk dipelihara bahkan mungkin perlu segera dipatenkan sebagai hasil budaya orang Melayu Banjar.

(Artikel ini pernah dimuat di
www.melayuonline.com)

Minggu, 24 Februari 2019

TUA MUDA MENJAGA MARWAH MUSIK MELAYU BANJAR

TUA MUDA MENJAGA MARWAH MUSIK MELAYU BANJAR


(Setengah Jam Bersama Banua Raya Symphony)


MENGHIBUR: Penampilan Banua Raya Symphony dalam Festival Karasminan Banua Seribu Sungai di Taman Budaya Kalsel, Senin malam. 


Sepekan penuh Taman Budaya Kalsel riuh oleh Festival Karasminan Banua Seribu Sungai. Banua Raya Symphony kebagian tampil pada Senin (13/8) malam, di Panggung Terbuka

 inilah satu-satunya band yang setia menganut aliran Dendang Melayu Banjar. Beberapa pentolannya merupakan seniman ternama di Banjarmasin. Sebut saja Julak Larau alias Mukhlis Maman. Dan Novyandi Saputra dari NSA Project.

Banua Raya Symphony tampil memukau. Jika ada yang kurang, konser itu tanggung. Lantaran durasi penampilannya hanya setengah jam. Penonton mulai "panas", ternyata sudah keburu memasuki lagu terakhir.

Namun, waktu yang singkat itu bisa dimaksimalkan dengan baik. Banua Raya Symphony terbukti piawai dalam memilih daftar lagu yang dimainkan. Dari yang ceria, perih mendayu-dayu, hingga yang romantis. Dari yang berisi petuah hingga penuh ungkapan percintaan.


Lagu pembuka adalah Salam Banua Raya Symphony, ciptaan Mukhlis Maman. Dilanjutkan Dhaif, ciptaan Anang Ardiansyah, maesto Musik Banjar. Lalu berturut-turut lagu melayu lama ciptaan anonim. Seperti Empat Dara, Dosa dan Siksa dan Mengikat Janji. Semuanya sudah diaransemen ulang.

Favorit penulis adalah Dhaif. Lagu religius itu bertempo pelan. Liriknya penuh dengan kerinduan, "Wahai nabi, wahai rasul penghabisan. Hari ini ulun datang. Ya salam".

Band ini kukuh memegang prinsip bahwa bermusik tak mengenal umur. Punya 19 personil dari yang belia hingga renta. Namun, malam itu hanya 13 personil yang diboyong. Beberapa tak bisa tampil karena kesibukan pekerjaan.

Ada empat vokalis dan sembilan pemusik yang tampil. Instrumennya dari yang tradisional sampai modern. Macam gendang, gambus, akordion, biola dan gitar bas.

"Band ini dihuni tiga generasi. Melintasi berbagai zaman. Tapi disatukan oleh satu niat yang sama; mengangkat marwah musik Melayu Banjar yang sanggup menantang selera musik kontemporer," tegas Masdar Hidayat, 40 tahun, gitaris.

Banua Raya Symphony berada di bawah naungan Balai Pusat Kajian Budaya Banjar. Mereka sudah tampil di berbagai kota. Pernah diundang ke Kanada dan Amsterdam. "Maksudnya Kandangan Dalam dan Amuntai Selatan Terus ke Dalam," selorohnya tertawa.

Lalu, apa bedanya Dendang Melayu Banjar dengan Dendang Melayu pada umumnya? Masdar menjawab, ada dua kriteria. Pertama, liriknya harus berbahasa Banjar. "Bukan berbahasa Indonesia seperti musik melayu kebanyakan," jelasnya.

Kedua, ada nada-nada yang berbeda. Berkat sentuhan dari alat musik Gendang Banjar dan Panting. "Sekitar 3/4 iramanya kami ubah ke musik Banjar," imbuhnya.

Jika ada yang terasa kurang, mereka belum merilis satu album utuh. Semisal dalam rilisan fisik seperti CD. "Sejujurnya, kami sudah punya daftar lagu yang cukup untuk menjadi sebuah album. Tapi karena kesibukan masing-masing personil, jadi terbengkalai," akunya.

Di luar bermusik, masing-masing personil memang memiliki kesibukan tersendiri. Tak mudah mengumpulkan mereka untuk latihan. Masdar sendiri bekerja di instansi pemerintahan. Sedangkan sang vokalis, Ria Anggraini adalah seorang vokalis freelance.

Perempuan 26 tahun itu sosok yang menarik. Dengan usianya yang masih muda, Ria mengaku tak pernah bisa menikmati musik kontemporer. Semisal pop atau rock.

Praktis, Ria tidak pernah serius bermusik sebelum mengenal Dendang Melayu Banjar. "Saya mulai fokus menyanyi setelah bergabung di sini. Entahlah, saya tak pernah bisa menikmati musik modern. Kurang mengena di hati," ujarnya.

Ambil perbandingan dengan musik dangdut. Dari cara bernyanyi, keduanya sama-sama mengenal istilah cengkok. "Jelas berbeda. Cengkok pada Dendang Melayu Banjar lebih halus. Tidak sevulgar milik dangdut," pungkas Ria. 


#FolksOfBanjar #MusikMelayuBanjar #MelayuBanjar #BudayaBanjar #AdatIstiadatBanjar #DendangMelayuBanjar

GANG BANJAR DAN JEJAK KERAJAAN BANJARMASIN DI EMPANG BOGOR

GANG BANJAR DAN JEJAK KERAJAAN BANJARMASIN DI EMPANG

Sekitar tahun 1885, daerah Bogor menjadi tempat pengasingan sultan dan para bupati yang dianggap berbahaya bagi pemerintah Belanda, dan sekaligus untuk mengurangi secara sistematis pengaruh kaum feodalis atas masyarakatnya.
Para bupati yang diasingkan berasal dari berbagai daerah, di antaranya dari Pekalongan, Bojonegoro, Sukapura (tempat pengasingan Empang), Purukcahu dan Bali.

Sedangkan Kerabat Diraja Banjar yang dibuang ke Bogor adalah YM Gusti Mohd Arsyad. Di Empang, bekas tempat pengasingannya inilah yang kemudian jejaknya dikenal dengan nama Gang Banjar. Di pengasingannya di Empang, Ia bersama para saudagar Arab kemudian ikut mendirikan Syarekat Dagang Islamiyyah yang pendiriannya diprakarsai oleh Raden Mas Tirtosoediro. Kelak SDI inilah yang kemudian berubah menjadi Syarekat Islam yang diketuai oleh Samanhudi di Solo dan dilanjutkan oleh HOS Tjokroaminoto sebagai tokoh sentral SI dan nama yang melekat erat dengan perkembangan SI dikemudian hari dan dikenal sebagai guru bangsa yang terkenal dengan gelar “Raja Jawa Tanpa Mahkota”.
Penerus Kesultan Banjarmasin ( Pagustian ) Gusti Mohd Arsyad  tidak sendirian di pengasingannya di Empang, Ia ditemani istrinya Ratu Zaleha Binti Sultan Mohammad Seman  dan beberapa orang kerabat dekatnya. Ratu Zaleha adalah satu dari sedikit pejuang wanita di Nusantara yang gagah berani membela tanah airnya dari cengkeraman kuku penjajahan Belanda. Bersama sang suami, Gusti Mohammad Arsyad bin Gusti Muhammad Said, Ratu Zaleha adalah penerus perjuangan Pahlawan Nasional Perang Banjar Pangeran Antasari.
Di masa tuanya sang Ratu kembali ke kampung halamannya pada tahun 1937 setelah sekian tahun berada di pembuangannya di Empang, dan meninggal pada tanggal 23 September 1953 dan kemudian dimakamkan di pemakaman raja-raja pagustian kesultanan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Nama Ratu Zaleha diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah di kota Martapura, Kebupatian Banjar, dan juga nama jalan di jalan-jalan utama di Kalimantan Selatan, demikian juga dengan Gusti Mohammad Arsyad.

#FolksOfBanjar #KesultananBanjar #GustiMohdArsyad #RatuZalecha #PangeranAntasari #PerangBanjar

BAHASA BANJAR DIALEK KUALA

Kata-kata yang saya sajikan didalam kamus ini adalah kata-kata yang biasa dipakai umumnya orang Melayu Banjar daerah Banjarmasin ( Muara/Kuala)  dalam pergaulan sehari-hari.yg berbeda dengan Dialek Hulu ( Pahuluan ) yg biasa di tuturkan di Daerah Hulu Sungai

Harapan saya bagi Anda pengunjung Blog ini yang bukan orang Banjar Asli, akan dapat belajar Bahasa Banjar secara mudah, siapa tahu suatu hari nanti Anda punya keinginan untuk berkunjung ke Banjarmasin, maka Anda sudah bisa menggunakan kata-kata dalam Bahasa Banjar itu, seolah-olah Anda seperti orang Banjarmasin sendiri.

Silakan cari kata-kata tersebut dibawah ini :

Bahasa Melayu Banjar  ( Dialek Kuala) Dan Artinya Dalam  Bahasa Indonesia / Melayu

DIALEK BANJAR KUALA (mempunyai 6  Fonem  a,i,u,e,o,e )

Manakala BANJAR HULU cuma (mempunyai 3 Fonem a,i,u)

Jadi Harus Tahu Bahwa Bahasa Banjar itu ada 2 Dialek Besar , kerna banyak yg tdk tahu tentang Bahasa Banjar , Banyak yg mengira bahwa Bahasa Banjar tidak bisa menyebut hurup  O dan E   anda salah besar  kerna Banjar Kuala mampu menyebut  A,I,U,O,E ( pepet) dan E (Talling ) dengan Benar .

STOP MENG HULU-HULU KAN  YG KUALA  !  Open minded  sanak .....

(KUALA)
BE = BER 
TE = TER

(HULU )
BA = BER
TA = TER

A
Akur = Setuju, Damai, Tidak Ada Perselisihan
Ambak = Pendiam / Lambat Dalam Bergerak
Ampih = Berhenti, Selesai
Amun/Mun / Lamun = Jika / Kalau / Jikalau
Anum = Masih Muda
Awak = Badan / tubuh

B
Be agak = Sombong / Berlagak
Be banam = Dipanggang di api
Be bau = Berbau
Be diam = Bertempat Tinggal / Tidak Ngomong, Diam
Be Hinip  = Diam tiada kata-kata
Begaru = Mengaruk / Bergaruk
Be gemet = Pelan-pelan
Be hapakan, Be sasambatan = Saling Mengejek, Mengolok-olok
Bahanu = Kadang-kadang
Bahari = Zaman Dahulu, Tempo Dulu
Behinak = Bernafas
Behimat = Rajin
Be isukan = Pagi
Be karasmin = Hajat Perkawinan / Hiburan
Belanjung-lanjung = Sebanyak-banyaknya
Be larang = Bertambah Mahal
Be liur = Kepingin / Berliur
Balum = Belum
Be hual = Bermasalah ,  Bertengkar, Tidak Saling Mengalah
Be kajal = Berdesakan
Be kajutan = Mendadak
Be kamih = Kencing (Buang Air kecil)
Bakas = Bekas
Be kuciak = Teriak
Be kunyung = Berenang
Banyu = Air
Be ranai = Berdiam diri, Tidak Ada Yang Dikerjakan (Free)
Berasa = Terasa
Be salin = Berganti
Be sangu = Membawa Bekal
Be takun = Bertanya
Be dapatan = Bertemu
Be tatukar = Berbelanja
Be paluhan = Berkeringat
Be padah = Memberitahu
Be papadah = Menasehati
Be pender = Ngomong, Berbicara
Be parak = Mendekat
Be tampah = Pesan
Be ulah = Mengolah, Membuat
Bungas = Cantik
Bungul = Bodoh
Bubuhan = Kawan, Sahabat, Teman
Bulik = Pulang
Bulang-Bulik = Bolak-Balik
Bujang = Masih Perjaka, Masih Perawan, Belum Menikah
Bujur = Benar
Bujur-Bujur = Serius

C
Cucuk = Cocok / Tusuk
Calon /Bakal  = Calon / Bakal

D
Damini = Sekarang Juga
Damintu = Seperti Itu
Diganii = Ditemani
Dihiga = Disamping
Dikiyau = Dipanggil

E
Elang = Bertamu
Engken = Pelit
Ember = Ember

=
=
F
=
=

G
Gerunuman  = Mengerutu
Ganal = Besar
Garing = Sakit
Gasan = Buat
Gawian = Pekerjaan
Guring = Tidur

H
Habang = Merah
Hancing = Aroma Tidak Sedap Yang Sangat Menyengat bau air Kemih
Handak = Mau
Handap = Pendek
Hanyar = Baru
Harat = Hebat
Hakun = Mau
Hangit = Gosong
Hibak = Penuh, Tidak Muat
Himung = Senang, Gembira

I
Ikam = Kamu
Imbah = Setelah
Inya = Dia
Iwak = Ikan

J
Jinguk = Tengok
Juju = Memaksakan Kehendak tak tahu arah tujuan

K
Ke belujuran = Kebetulan
Kebiasaan = Kebiasaan
Kada = Tidak
Kada ada = Tidak Ada
Kadap = Gelap
Ke hangitan = Gosong
Keina = Nanti
Kelimpatan = Melewati Batas, Terlewati
Ke kembangan = Bunga-Bunga , Hiasan
Ke kawalan = Teman, Sahabat, Teman-teman
Kaya = Seperti
Kawa = Bisa, Dapat
Koreng = Luka Kering
Kukuciak = Teriak

L
Lading = Pisau
Lakas = Cepat
Langgar = Mushalla/ surau
Lantih = Pandai Bicara / berceloteh
Larang = Mahal
Lawas = Lama
Lawang = Pintu
Lihum = Senyum
Limbah = Setelah
Lingsak = Lecet
Lucut = Susah Sekali / tertawa hampir hampir menangis

M
Me hadang = Menunggu
Me hampas = Menghentakan Barang Dengan Keras
Me hingal = Bernafas Tidak Teratur
Me micik = Menekan
Me nakuni = Menanyakan
Me nampaikan = Memperlihatkan/ menampilkan
Mencaluk = Mengambil sesuatu dalam lubang
Mencungul = Hadir /muncul
Mencuntan = Mencuri
Mengelunyur = Mengalir
Mengeramput = Berbohong
Mengarasi = Merasa Benar (keras pada pendiriannya)
Manggah = Susah bernafas
Mengiyau = Memanggil
Menjulung = Menyerahkan
Menukari = Membeli
Menukarakan = Membelikan
Menyanga = Mengoreng
Menyenyarik = Marah-Marah
Menyewa = Menyewa
Menyupanakan = Membikin Malu
Membari supan = Memberi Malu
Menyurungi = Menyuguhkan
Memasan = Memesan
Memacul = Melepas
Membisa i = Membujuk
Me igau = Berbicara Sendiri Ketika Tidur
Me itihi = Melihat
Melandau = Bangun Kesiangan [Tidak Shalat Subuh]
Merista = Menderita
Matan = Dari
Me ragap = Memeluk
Merangut = merengut
Memagut = Memeluk
Mesigit = Mesjid
Mauk =  Pusing kepala
Meunjun = Memancing
Meungkai = Membuka, Memperlihatkan, merungkaikan
Meja = Meja
Muntung = Mulut

N
Nang = Yang
Ngalih = Sulit, Susah,sukar,pelik
Ngaran = Nama
Nyaman = Enak

O

=
=
P
Pehalusnya = Paling Kecil
Pengeramput = Pembohong
Pendusta = Pembohong
Pengarasan = Tidak Mau Mengalah (keras hati)
Penggaringan = Sering Sakit-Sakitan
Pengoler = Pemalas
Pe koleh = Mendapatkan
Palak = Pedih mata akibat asap
Parak = Dekat
Pian = Kamu [digunakan kepada yg lebih tua]
Pina = Kayak, Seperti
Pincat = Pincang
Pulas = Memelintir
Purun = Tega

R
Rabit = Robek, Sobek
Racap = Berulang-ulang, Berulang Kali
Rahatan = Sedang Berlangsung
Rami = Ramai
Rancak = Sering
Rawa/tagur = Tegur

S
Saban = Tiap
Sebakul = Satu Keranjang (Bakul)
Selawar = Celana
Selawas = Selama
Sambat = Sebut
Sambati = Olok-olok
Semua an = Semuanya
Setumat = Sebentar
Sorang [an] = Sendiri [an]
Seraba = serba
Sarik = Marah
Sampat  = Sempat
Separu = Setengah / separo
Sidin = Beliau/ Dia [Untuk Orang Yang Lebih Tua)
Singgah = Mampir
Siup = Pingsan
Supan = Malu

T
Te kajut = Terkejut
Te kibar = Sangat Terkejut
Takun = Tanya
Tekuling = Geleng-Geleng
Temandak = terdiam tanpa bisa bergerak
Tetamba = Obat
Tetukar = Terlanjur Beli
Tebungut = Melamun
Tawing = Dinding
Tepelampang = Berbeda, Selalu Berbeda
Tuhuk /puas  =  sudah terlalu sering
Tuntung = Selesai
Tukup = Tutup

U
Unda = Saya [akrab] digunakan pada teman sebaya
Ulun = Saya [halus] digunakan pada org yg lebih tua
V
=
=
W
Wadah = Tempat
Wadai = Kue
Wajik= Wajik
Waras = Baik
Warung = Warung
Wayah = Saat