Dalam mengawali tulisan, terlebih dahulu saya akan menjabarkan apa dan siapa yang disebut dengan urang banjar|اورڠ بنجر, atau dalam Bahasa Indonesia disebut Orang Banjar sendiri. A.Gazali Usman (1989) menjelaskan yang disebut urang banjar merupakan penduduk yang mayoritas sekarang mendiami daerah Kalimantan Selatan, dalam pengertian kesukuan, suku banjar merupakan kesatuan etnis melayu yang bercampur dengan penduduk DAS Negara, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio (DAS: Daerah Aliran Sungai) yang selanjutnya dalam percampuran dikenal dengan banjar hulu, banjar batang banyu dan banjar kuala. Pada prosesnya juga terjadi proses migrasi besar-besaran yang terjadi pada sekitar abad 18-19 ke kantong-kantong kepulauan melayu yang didasari oleh sebab agama, perang dan adat merantau sendiri. Saya sendiri merupakan peranakan banjar asli, dimana pedatuan dari sebelah ayah merupakan datang dari Kampung Dalam Pagar Martapura , dan pedatuan dari sebelah ibu datang dari daerah Muara Tapus ,Alabio (HSU), Dalam catatan sejarah menunjukkan urang banjar sendiri pada awal abad ke-17, 18 dan 19 dikenal akan tiga hal, yaitu intelektualitas, keberanian dan kebersamaannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ulama yang muncul, seperti Datuk Sheikh Muhammad Arsyad Bin Abdullah Al-Banjary atau yang lebih dikenal dengan Datuk Kelampayan dengan masterpiece beliau berupa Kitab Sabil Al-Muhtaddiin yang menjadi rujukan fikih di Nusantara (Indonesia,Singapore,Malaysia,Brunei,Thailand,Philipines) , Datuk Sheikh Muhammad Nafis Al-Banjary dengan kitab Ad-duruun nafis nya, Datuk Sheikh Abdurrahmaan Siddiq Bin Datuk Sheikh Muhammad Afif (Mufti Kesultanan Indragiri, Riau,) dan lain sebagainya. Budaya intelektualitas ini masih terpelihara hingga saat ini, utamanya di lingkungan Pesantrian/pesantren klasik. Pada masyarakat umum sendiri budaya intelektualitas dalam menuntut ilmu perlahan masih berjuang akan eksistensinya ditengah pengaruh global asing yang menyebabkan budaya latah atau ikut-ikutan, yang patut disayangkan tidak heran kalau kebiasaan latah yang semakin lama semakin mendominasi menjadikan ciri khas ketika orang luar melihat masyarakat banjar dewasa ini sebagai orang udik, yang gampang terpengaruh mengikuti mode dan kebiasaan budaya luar, dimana sangat disayangkan yang diambil justru budaya buruknya.
Urang Banjar pada abad ke-19 Dalam suatu catatan VOC yang bertugas di kesultanan banjar melaporkan sewaktu mereka menghadap kepada Sultan yang berkuasa pada saat itu, Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang memerintah pada tahun 1758 - 1761, dimana dalam laporannya kepada residen de Lilc dikatakan: “Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tidak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tetapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai ” Hal ini menggambarkan bagaimana sifat asli masyarakat banjar merupakan masyarakat yang keras dan tegas, dimana hal ini sendiri dapat dilihat secara umum dari betapa kerasnya perang yang berkecamuk pada tahun 1859 - 1905 yang dikenal dengan perang banjar, didasari oleh semakin merajalelanya Belanda dalam mencampuri urusan kesultanan dan tata sosial serta politik wilayah banjar sendiri.
Perjalanan waktunya, sifat-sifat positif dan negatif diatas terus berproses dan berasimiliasi dengan budaya, adat istiadat dan kebiasaan baru yang datang ke daerah banjar sendiri. Sehingga pada akhirnya hal yang sangat disayangkan dewasa ini dalam pandangan saya masyarakat banjar cenderung pelan - pelan bergeser dari kedominasian sikap dan sifat positifnya sehingga tertinggal hal negatif seperti latah, keras dan emosional, kalau dalam bahasa banjar sering ada istilah kada kawa dicelengi sadikit balalu handak manimpas, yang pada akhirnya menyebabkan urang banjar yang mulanya kemampuan intelektualitas nya diakui di Nusantara dimana karya tulis dan sumberdaya manusianya sendiri menjadi rujukan, bahkan diundang secara khusus untuk menjadi mufti kerajaan di luar Banjar, perlahan-lahan bergeser dan jika hal ini terus dibiarkan lama-lama akan tenggelam dan akhirnya tersingkir dari persaingan global, dalam contoh sederhananya lihat saja bagaimana pelajar dari banjar memandang pelajar-pelajar lulusan dari Jawa, belum lagi bertarung sebagian besar sudah akan minder dan bersikap pesimis, yang akhirnya menyingkirkannya juga dalam konteks persaingan. Lalu, bagaimana mencegah dan mengatasi hal ini? bagaimana peranan urang banjar di abad 21, yang mau tidak mau harus bersaing dalam persaingan global dengan bangsa lain, dan dengan suku lain dalam konteks nasional? Kembali kita kutip pernyataan dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah kepada residen Belanda, dimana beliau mengatakan ...........seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai. Kalimat ini semestinya merupakan ungkapan positif yang menjelaskan bahwa urang banjar merupakan kelompok masyarakat yang keras, tegas, ulet dan erat kerjasamanya. Sikap keras dan tegas dalam berjuang yang pada abad 17, 18 dan 19 berada dalam konteks memperjuangkan tanah dari penjajah, hendaknya dewasa ini kita membutuhkan kemauan keras, ketegasan, keuletan dan kerjasama yang kuat dalam perjuangan membangun ummat dan bangsa, kembali meneruskan semangat intelektualisme ulama-ulama besar banjar yang dalam kekinian kita memerlukan sumberdaya manusia yang handal dalam berbagai bidang, tidak hanya dalam bidang agama, namun juga bidang lain seperti pendidikan, hukum, lingkungan, hubungan internasional, tata negara, ekonomi, dan lain sebagainya, sehingga urang banjar kembali dapat melahirkan intelektual-intelektual yang suara dan kebermanfaatannya mampu terdengar di Nusantara bahkan hingga Internasional. Wallahua'lam, hal ini merupakan instropeksi yang harus dipikirkan kembali, dan bagaimana agar dapat terus bergerak maju.
- Posted by :
- Di Rangkum dari berbagai Sumber
Makasih ilmunya. Unda asli banjar jua (Sungai Durian, Amuntai). Seorang teman pernah bilang "Dulu dlm pikirannya yg namanya orang dr Kalimantan itu pasti primitif(dlm arti tertinggal jauh dr sukunya soal kemajuan & teknologi)". Semuanya berubah saat aku posting ttg ibadah yg sering dilakukan di kotaku(aku tinggal di Kuala Kapuas Kalteng) saat menyambut tahun baru Islam. Hal itu membuka matanya kl apa yg dilakukan sukunya dlm menyambut 1 Muharram jauh lebih primitif bahkan menurutnya masih ada budaya jahiliyahnya.
BalasHapusYup, sama2 thanks atas comment dan kunjungannya ... Salam kulaan Banjar
BalasHapus