Populer

Cari Blog Ini

Music Listening

Translate

Sabtu, 11 November 2023

𝗙𝗥𝗘𝗘 𝗪𝗜𝗡𝗗𝗢𝗪𝗦 𝟭𝟬 𝗣𝗥𝗢𝗗𝗨𝗖𝗧 𝗞𝗘𝗬 𝟮𝟬𝟭𝟵

 

Windows 10 Home Edition Keys

  • YTMG3-N6DKC-DKB77-7M9GH-8HVX7

Windows 10 Single Language Key

  • BT79Q-G7N6G-PGBYW-4YWX6-6F4BT

Windows 10 Education

  • YNMGQ-8RYV3-4PGQ3-C8XTP-7CFBY
  • NW6C2-QMPVW-D7KKK-3GKT6-VCFB2

Windows 10 Enterprise 

  • CKFK9-QNGF2-D34FM-99QX2-8XC4K
  • NPPR9-FWDCX-D2C8J-H872K-2YT43
  • PBHCJ-Q2NYD-2PX34-T2TD6-233PK

Windows 10 Pro Serial Key

  • VK7JG-NPHTM-C97JM-9MPGT-3V66T
  • 6P99N-YF42M-TPGBG-9VMJP-YKHCF
  • 8N67H-M3CY9-QT7C4-2TR7M-TXYCV
  • W269N-WFGWX-YVC9B-4J6C9-T83GX

Windows 10 product key: Technical Preview for Consumer

  • 334NH-RXG76-64THK-C7CKG-D3VPT

Windows 10 product number:

  • VK7JG-NPHTM-C97JM-9MPGT-3V66T
  • W269N-WFGWX-YVC9B-4J6C9-T83GX
  • T44CG-JDJH7-VJ2WF-DY4X9-HCFC6

Key for Every kind of edition:

  • 8DVY4-NV2MW-3CGTG-XCBDB-2PQFM
  • NKJFK-GPHP7-G8C3J-P6JXR-HQRJR

2017 product keys for Windows 10

  • TX9XD-98N7V-6WMQ6-BX7FG-48Q99
  • TX9XD-98N7V-6WMQ6-BX7FG-H8Q99

If none of the above keys work, try using 2019 Windows 10 product keys which are mentioned below. Generate Windows 10

Senin, 08 Februari 2021

SUNAN GIRI PENDAKWAH ISLAM PERTAMA DI KALIMANTAN

 SUNAN GIRI

PENDAKWAH ISLAM PERTAMA DI KALIMANTAN







Ada satu fakta sejarah yang jarang diungkap oleh para peneliti, apalagi diketahui jamak oleh orang awam bahwa pengaruh masuknya Islam di bumi Banjar tak terlepas dari pengaruh dakwah walisongo (wali sembilan) khususnya Sunan Giri .

Saya secara pribadi tidak melihat kiprah dakwah itu sebagai bagian dari dakwah politik kerajaan Islam Demak, sebab kiprah Raden Paku atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Giri itu sudah lebih dahulu dari berdiri dan tumbuhnya Kerajaan Islam Demak sebagai kekuatan baru pesaing kerajaan Hindu Majapahit yang sudah mulai runtuh ketika itu.


Jika dilihat dari kronologis sejarahnya, kiprah dakwah Sunan Giri telah ada berlangsung pada awal abad ke-15 Masehi di Kalimantan Selatan. Kedatangan Sunan Giri ditengarai pada tahun 1470 M; 

Dimana ketika itu pusat perdagangan di Pelabuhan Bandar Masih (yang kemudian berganti nama penyebutannya menjadi Banjarmasin) sedang mengalami puncak keramaian interaksi pedagang dari pelbagai Negara (Mancanegara).

Ada pula penelitian yang menyebutkan kedatangan Sunan Giri pertama kalinya di pelabuhan Muara Bahan ( Bandar Utama Kerajaan Negara Daha /Pra Kesultanan Banjar)  yang hari ini dikenal dengan nama Marabahan. Kedatangan beliau bukan sekedar misi dakwah, namun juga dalam rangka perdagangan, sebab kedatangan beliau bersama tiga buah kapal dagang.

Terlepas apakah misi beliau dalam rangka berdagang atau berdakwah semata, namun catatan sejarah yang tidak bisa dilupakan bahwa orang-orang dayak Bakumpai atau Urang Bakumpai yang tinggal di pesisir Muara Bahan, ternyata mereka telah ditemukan memeluk Islam lebih dahulu berbanding, masuknya Islam Raja Pertama Banjar;

KDYMM Sultan Suriansyah pada kisaran tahun 1526 M dengan diutusnya Khatib Dayan dari kerajaan Demak atas bantuan bala tentara Demak membantu memenangkan peperangan Pangeran Samudera (nama lain KDYMM Sultan Suriansyah sebelum memeluk Islam ).


Saya melihat kiprah Sunan Giri di Kalimantan pada umumnya, khususnya di bumi Banjar sebagai tanggung jawab serta tugas para pendakwah khususnya bagi kalangan Alawiyyin yang memiliki misi meng-islamkan bumi Nusantara, termasuk bumi kerajaan Banjar yang ketika itu masih dipimpin oleh kerajaan Daha yang memeluk agama Hindu.


Meskipun faktanya, kerajaan Daha memeluk agama Hindu, namun pada masyarakat Banjar yang notabene suku Melayu tidak ditemukan adanya kepercayaan agama Hindu yang mengakar kuat pada keyakinan masyarakatnya, terkecuali hanya beberapa tradisi simbolik dalam beberapa aspek kecil saja yang kemudian berasimilasi dengan nilai-nilai Islami .


Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dan mengakar dari agama Hindu bagi masyarakat Melayu Banjar, hingga datangnya pengaruh Islam yang benar-benar menjadi roh dan nafas kehidupan bagi masyarakat orang Melayu Banjar.


Jika dirunut lebih mendalam lagi, 

Sunan Giri merupakan keturunan Rasulullah SAW

melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Dengan demikian, sumber dakwah Islamnya masyarakat Melayu Banjar boleh dikatakan bukan semata dari pengaruh Islam Demak di Jawa, akan tetapi lebih awal memang bersumber langsung dari keturunan Ahlul Bait yang sumber utamanya bermuara pada datuk pertama mereka Al-Imam Ahmad bin Muhajir di Yaman.

Secara kajian ilmiah, saya secara pribadi tidak menemukan adanya pengaruh kekhalifahan Turki Utsmani pada periodesasi ini. Sebab pada rentang abad ke-15 M yang ketika itu bertepatan dengan kepemimpinan Sultan Muhammad al-Fatih Sang Penakluk Constantinopel (1451-1481 M) atau jika ditarik lebih awal lagi pada masa pemerintahan ayahnya Sultan Muhammad I (1421-1451 M).


Pada masa itu, kekhalifahan Turki Ustmani (Ottoman Empires)  tengah menghadapi banyak peperangan dan penaklukan pasca peperangan Salib yang sedang bergelora di Eropa. Dengan pengertian lain, kekhalifahan Turki Ustmani belum memusatkan adanya hubungan kerjasama politik atau pun militer dengan kerajaan Islam di Nusantara.

Kembali pada Islamisasi di bumi Kerajaan Banjar awal bahwa jelas di sana belum ada pengaruh politik, baik dari kerajaan Islam di Jawa maupun kerajaan Islam yang tengah berkuasa di Asia atau di Timur Tengah kala itu.

Semangat dakwah yang pertama kali tertancap di bumi Kalimantan murni atas dasar kemurniaan dakwah mengenal keagungan Islam secara kultural yang bersumber langsung dari para ulama dan dai yang ikhlas lillahi ta'ala. 

Selanjutnya, pengaruh kultural ini akan terlihat pada sepak terjang perjalanan Islam di bumi Banjar mulai abad ke-15 M hingga abad 21 hari ini yang nampak jelas pada praktik keberagamaan masyarakat muslimnya yang lebih nyaman dengan gaya sufistik, ketimbang gaya pergerakan Islam progresif atau revolusioner. 


Dengan kata lain, masyarakat muslim Banjar tidak terlalu tertarik dengan gaya Islam pergerakan atau revolusioner. Dan tidak ada fakta sejarah atau situs sejarah adanya pengaruh kekhalifahan Turki Ustmani pada masa kerajaan Banjar pada periodesasi awal ini.

Inilah mengapa kultur budaya dan nuansa keislaman bagi orang Melayu Banjar menyatu dengan kehidupan mereka yang lebih senang merindukan kebersamaan bersama Tuhan dan Rasulnya dalam amaliah-amaliah 


Wallahu Ta'ala A'la

Penulis : Ustaz Miftah El-Banjary

(Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an)


#FolksOfBanjar #KesultananBanjar #IslamBanjar #SejarahBanjar #MelayuBanjar #SejarahMasuknyaIslamDiKalimantan



Kamis, 28 Februari 2019

Makam Raja Banjar ke IV  DYMM Sultan Musta'In Billah Ditemukan di Bawah Pohon Kasturi Raksasa di Martapura

Pohon Kasturi


Batu Nisan Sultan Musta'in Billah



Makam Raja Banjar ke IV  DYMM Sultan Musta'In Billah Ditemukan di Bawah Pohon Kasturi Raksasa di Martapura

Sebuah makam yang diduga merupakan tempat persemayaman Raja Banjar ke IV, Sultan Mustainbillah, akhirnya ditemukan oleh para Dzuriyat Kesultanan Banjar.
Makam yang diyakini merupakan salah satu Raja Banjar itu berada di bawah sebuah pohon Kasturi berukuran raksasa berdiameter 150 cm diperkirakan berusia 200 tahun, di Desa Tangkas RT 3, Kecamatan Martapura Barat, Martapura, Kabupaten Banjar , Kalimantan Selatan

Di lokasi tersebut para Dzuriyyat yang telah lama melakukan pencarian Raja Banjar tersebut, menemukan sebuah Batu Nisan batu berukuran besar dengan ukiran batu bercabang dua yang menandai keberadaan makamnya.
Ketua Zuriyyat Pangeran Hidayatulah di
Kalsel, Gusti Sofyan Hilmi, mengatakan, di dalam buku-buku yang meriwayatkan sejarah Banjar, mencantumkan enam Sultan. Makam lima Sultan telah diketahui, tinggal Raja Banjar keempat tersebut yang belum.
"Hanya Sultan Mustainbillah yang tidak diketahui makamnya. Kalau wafatnya pada tahun 1619," sebut dia, Jumat (1/1/2016)
Dari penelusuran, didapat petunjuk tentang makam sultan tersebut di kawasan Sungai Tabukan. “Ketika dicari, tidak ditemukan. Ketika dicari di kawasan Sungai Tabukan Martapura, lalu bertanya kepada warga, ditunjukkanlah makam dimaksud tersebut,” ujarnya.
Dulunya, di lokasi makam ada kubah juga, tetapi hancur dimakan usia karena hujan, panas serta faktor lain. Makam tersebut dirawat Gusti Dayat. Namun, sepeninggal Gusti Dayat, tidak ada lagi yang merawat.
“Warga sekitar, tahunya memang makam raja. Makanya, banyak yang menaruh kembang dan kain kuning di makam beliau," imbuh Gusti Sofyan.
Pohon Kasturi Raksasa di atas Makam
Raja Banjar ditebang, untuk memudahkan perawatan makam.
Dengan temuan tersebut, lanjutnya, para Zuriyyat serta komunitas peduli makam raja-raja Banjar memutuskan untuk merawat kembali makam ini. Setelah pohon kasturi ditebang, rencana berikut adalah membangun kubah berarsitektur rumah banjar berukuran 4 x 4 meter
Disinggung mengenai makam yang sebelumnya ditemukan di Desa Sungai Kitano dan disebut makam Sultan Mustainbillah, Gusti Sofwan membenarkan. Namun ia juga mengungkapkan makam itu adalah Makam Sultan Inayatullah, yakni anak dari Sultan Mustainbillah.
"Bisa dilihat dari nisannya. Di Sungai Kitano, lebih kecil ukurannya dari makam yang baru ditemukan. Makam yang baru ditemukan, paling besar nisannya. Cuma, ada kemiripan bentuk nisan antara kedua makam," bebernya.
Hal senada diutarakan Ketua Peduli Makam Al Khairat, Uhibbul Hudda. Berdasarkan bentuk nisan makam tersebut, menandakan makam raja-raja dulu. Bentuk nisannya, lebih besar dari nisan Sultan Inayatullah.
"Itu bukan batu hasil olahan daerah kita. Bisa jadi, batu nisan ini dari Persia atau bisa juga Majapahit," lontarnya.

Keterangan gambar : Nisan dari Makam Raja Banjar IV Sultan Mustainbillah yang ditemukan di Kecamatan Martapura Barat Jumat (1/1/2015) diamankan di rumah warga.

#FolksOfBanjar #KesultananBanjar #KesultananKutaringin #SultanMustainBillah

SHEIKH ALI BIN ABDULLAH AL-BANJARY


SHEIKH ALI BIN ABDULLAH AL-BANJARY
JURU TULIS KITAB I'ANAH ATH-THALIBIN

Di kalangan santri di Indonesia dan Santri Alam Melayu kitab I’anah Ath-Thalibin sangat dikenal. Namun siapa sangka, penulisnya (juru tulis Syekh Bakri Satha) ternyata seorang syekh keturunan Banjar , Kalimantan Selatan
Syekh keturunan Banjar itu bernama Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau dilahirkan di Makkah Al Mukarramah tahun 1285 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1868 Miladiyah (Masihi), dan tumbuh di dalam keluarga shaleh dan shalehah.
Ayahnya, Syekh Abdullah bin Mahmud Al Banjari merupakan ulama karismatik di Makkah Al Mukarramah. Beliau dijuluki dengan julukan Syekh Abdullah Wujud dikarenakan apabila beliau berdzikir, tubuhnya tidak lagi nampak terlihat, melainkan hanya pakaian dan sorbannya saja.
Di dalam keluarganya yang shaleh dan menjunjung tinggi ilmu agama itulah Syekh Ali tumbuh besar, hingga beliau mewarisi kecintaan pada ilmu agama sebagaimana ayah, kakek, dan datuknya yang lebih dulu menjadi ulama besar di zaman mereka.
Syekh Ali tak mau menjadi pemutus “nasab emas” keilmuan para leluhurnya, beliau pun dengan gigihnya menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syekh Said Yamani, Syekh Yusuf Al Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki, Habib Ahmad bin Hasan Al Atthas, Habib Umar bin Salim Al Atthas, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Ahmad Fathani, Syekh Zainuddin As Sumbawi dan lainnya.
Dalam ilmu nahwu, sharaf, dan Fiqih Syekh Ali belajar kepada Syekh Abu Bakar Satha, Syekh Said Yamani, dan Syekh Mahfuz Termas (Ulama dari tanah Jawi). Dalam bidang hadits beliau berguru kepada Syekh Said Yamani, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki. Adapun dalam ilmu falaq, Syekh Ali belajar kepada Syekh Yusuf Al Khaiyat. Tafsir, kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Dan, mengambil ijazah Thariqah Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi.
Menjadi Juru Tulis Gurunya
Guru dari Syekh Ali, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang hidup pada akhir abad ke-13 H dan permulaan abad ke-14 H. Kala itu, Sayyid Abu Bakar as Satha mengajar kitab syarah Fath al Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari, di Masjidil Haram.
Selama mengajar Kitab Fathul Mu’in, Sayyid Abu Bakar Satha menulis catatan sebagai penjelasan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab fathul Mu’in.
Catatan-catatan inilah yang kemudian diminta untuk dikumpulkan oleh para sahabat beliau, guna dijadikan sebuah kitab (hasyiyah) untuk memahami Kitab Fathul Mu’in.
Saat itu, Syekh Ali menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Ath-Thalibin, syarah (penjelasan ) dari Kitab Fathul Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari.
“Kitab asli tulisan tangan beliau itu ada di Sumatra,” kata Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Al Banjari.
Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Kitab I’anah Ath-Thalibin ini selesai ditulis pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H.
Kitab I’anah Ath-Thalibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif.
Rujukan penyusunan kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumy dan lainnya.
Mursyid Thariqah Sammaniyah
Dalam bidang tasawuf, Syekh Ali Al Banjari diketahui pernah mengambil ijazah Thariqah Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi, hingga menjadi mursyid dalam thariqah tersebut. Hal ini diketahui dengan adanya catatan silsilah masyaikh (keguruan) pada Thariqah Sammaniyah yang terdapat nama beliau di dalamnya.
Thariqah Sammaniyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Di antara murid Syekh Muhammad Samman adalah Datuk Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliaulah yang membawa thariqah ini ke tanah Banjar, dan meng-ijazahkannya kepada keluarga dan pengikut beliau. Dari keluarga dan pengikut beliau inilah kemudian thariqah tersebut terjaga hingga sekarang.
Mursyid Thariqah Sammaniyah yang masyhur dari keturunan Datuk Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Tuan Guru Sekumpul). Di antara mata rantai sanad keguruan Tuan Syekh Muhammad Zaini dalam bidang Thariqah Sammaniyah ini, terdapat nama Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari. Berikut perinciannya sanad keguruan dari Syekh Samman hingga Syekh Muhammad Zaini:
Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani,
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari,
Syekh Syihabuddin Al Banjari
Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani
Syekh Zainuddin bin Badawi As Sumbawi, Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari
Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al Banjari
Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari.
Mengajar di Masjidil Haram
Setelah dinilai guru-gurunya mumpuni dalam bidang keilmuan, Syekh Ali pun diizinkan mengajar di Masjidil Haram dalam mata pelajaran Nahwu, Sharaf, dan Fiqih Mazhab Syafi’ie.
Sejak saat itu pula, rumahnya di Daerah Syamiyah, Jabal Hindi, menjadi tempat tujuan para penimba ilmu. Terlebih, ketika umat Islam Seluruh dunia berdatangan untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ibadah haji ini biasanya dimanfaatkan para muslimin untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di tanah haram, tak terkecuali dengan Syekh Ali.
Dari sekian banyak murid Syekh Ali Al Banjari yang datang dari tanah Banjar dan kemudian menjadi ulama besar, di antaranya: Tuan Guru Zainal Ilmi (Dalam Pagar,Martapura), Syekh Sya’rani bin Haji Arif (Kampung Melayu), Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al-Banjary (Bangil, Surabaya), Syekh Seman bin Haji Mulya (Keraton,Martapura), Syekh Hasyim Mukhtar, Syekh Nasrun Thahir, Syekh Nawawi Marfu’, Syekh Abdul Karim bin Muhammad Amin Al Banjari (wafat di Makkah).
Berhenti Mengajar di Masjidil Haram
Setelah sekian lama tanah haram hidup tenang, dan Syekh Ali tenang menjalani rutinitasnya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Saudi Arabia dilanda perpecahan. Perang antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz.
Peperangan tersebut tidak hanya berkisar perebutan daerah, tapi juga keyakinan dalam beragama. Kubu Muhammad Su’ud yang membawa keyakinan Wahabi kemudian membuat “onar” di tanah haram. Para ulama Ahlussunnah di zaman itu dipanggil, tak terkecuali dengan Syekh Ali.
Sempat terjadi perdebatan sengit antara Syekh Ali dengan ulama wahabi tentang firman Allah Ta’la, “Yadullah fauqa aidihim”(Al Fath ayat 10). Ulama Wahabi berpandangan lafaz “Yad” disana adalah tangan, dan Syekh Ali dengan tegas tidak menerima pandangan Mujassimah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk, red) tersebut. Beliau cenderung dengan pandapat tafsir tentang ayat tersebut yang menyatakan: Bermula kekuasaan itu atas segala kekuasaan mereka itu. Lafadz “Yad” dimaknai Qudrat. Dalam debat itu, beliau menang telak atas ulama Wahabi. Sehingga, Syekh Ali yang tadinya akan dipancung, urung dilaksanakan.
Dalam masa peperangan itu-lah, Syekh Ali Al Banjari menitipkan anaknya Husin Ali kepada Tuan Syekh Kasyful Anwar Al Banjari untuk dibawa ke tanah Banjar. Syekh Kasyful Anwar adalah sahabat Syekh Ali ketika mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha, yang juga keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Sejak perpecahan itu-lah Syekh Ali Al Banjari tak lagi mengajar di Masjidil Haram. Namun, beliau masih menerima orang-orang yang datang menemuinya. Baik yang menimba ilmu atau yang hanya meminta doa. Karena nama Syekh Ali tidak hanya besar disebabkan kedalaman ilmunya, tapi juga kemustajaban doanya. Sehingga, banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk didoakan beliau.
Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari wafat di Makkah Al Mukarramah, Khamis malam (Malam Jumaat) 12 Dzulhijjah 1307 Hijriyah dimakamkan di Mu’alla, Mekkah.
Silakan share , tapi sertakan nama penulisnya. Sebab, suatu saat mungkin ada yang menjadikan referensi penelitian. Tulisan ini bersumber dari wawancara penulis dengan Ustadz Muhammad Husein Ali bin KH Husin Ali bin Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari (Cucu Syekh Ali di Martapura).
Jika ada salah dan khilaf, baik di sengaja maupun yang tidak disengaja, penulis menghaturkan ampun dan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Allah membukakan pintu tobat, ampunan, taufiq, hidayah, istiqomah, dan husnul khotiman pada kita sekalian baik bagi penulis maupun pembaca berkat Rasulullah SAW, Syaikhuna Sekumpul, berkat Syekh Ali Al Banjari, dan berkat orang-orang shaleh dulu-sekarang hingga akhir zaman, amin ya Rabbal ‘alamin
SOURCE & WRITER :
Penulis: Muhammad Bulkini Ibnu Syaifuddin
# FolksOfBanjar # # I ’anahAth-Thalibin
# SheikhAli